Monday, October 18, 2010
- 7:25 PM
- Unknown
- 1 comment
Sunday, October 17, 2010
- 2:04 AM
- Unknown
- No comments
Masdudin jengkel melihat istrinya terbahak sampai badannya berguncang-guncang seperti bemo yang tengah menunggu penumpang. ”Apanya yang lucu Asyura?”
Pertanyaan itu tak serta-merta membuat Asyura berhenti terkekeh. Khawatir makin jengkel dan penyakit bengek yang membuat napasnya megap-megap kumat, Masdudin melangkah keluar meninggalkan istrinya dan membiarkan perempuan yang rambutnya mulai beruban itu menelan tawa dan bahaknya sendiri. Dia baru mendengar teriakan sang istri ketika badan pendek hitamnya hampir hilang di balik rumah tetangga sebelah.
”Bang!”
Meski masih menyimpan rasa kesal, Masdudin menghentikan langkah.
”Sini!”
Gerimis halus masih turun dari langit. Masdudin berbalik dan mengikuti langkah istrinya ke ruang tamu.
”Mengapa abang tiba-tiba kepingin makan kue gemblong Mak Saniah?” Asyura bertanya ketika Masdudin tengah mengatur napas.
Masdudin berpikir untuk mencari jawaban yang pas. Dia sendiri tak tahu mengapa pagi itu, ketika gerimis jatuh dari langit, dia ingat Mak Saniah yang biasanya menjajakan kue gemblong ke rumahnya. Tidak setiap hari juga. Dalam sepekan, dua sampai tiga kali Mak Saniah datang ke rumahnya.
”Syuraaaaa… Syuraaaaaaa… gemblong Neeeeeng!” Mak Saniah biasa memanggil istrinya. Lalu tubuh rentanya duduk di teras rumah setelah meletakkan sebuah panci besar berisi jajanan berupa kue gemblong atau kue unti.
Asyura tak pernah membiarkan Mak Saniah pulang dengan tangan hampa. Begitu mendengar suara Mak Saniah, dia segera mengambil piring dan menjumpai Mak Saniah di luar. Selembar uang Rp 5 ribu biasa diberikan Asyura kepada Mak Saniah dan mengambil kue gemblong empat hingga lima buah serta unti dua sampai tiga buah. Mak Saniah tak pernah menjual kue-kuenya lebih dari Rp 500 per buah. Dengan uang Rp 5 ribu seharusnya Asyura bisa mengambil 10 buah kue. Namun, hal itu tak pernah dilakukan Asyura. Dia selalu mengambil kue-kue secukupnya dan membiarkan uang kembaliannya untuk Mak Saniah. Sesekali Asyura juga memberikan Mak Saniah lembaran uang sepuluh ribuan tapi mengambil jumlah kue yang sama serta tak mengambil uang kembaliannya.
”Terima kasih banyak ya, Neng. Semoga rezeki Neng banyak, berkah, anak-anak pada sehat, disayang laki, setia,” kata Mak Saniah selalu sembari menyelipkan uang di balik lipatan kainnya (Mak Saniah semula biasa meletakkan uangnya di balik alas kue dari koran bekas di dasar pancinya. Namun, kini tak pernah lagi dilakukannya karena dia pernah kehilangan uang yang sudah dia kumpulkan sedikit demi sedikit dari para pembeli).
”Lucu juga kalau nggak ada angin nggak ada hujan abang tiba-tiba kepingin kue gemblong Mak Saniah,” kata istrinya. Masdudin melirik ke depan rumah, pada tempias gerimis yang membasahi genting rumah tetangganya. ”Abang ngidam? Ngidam istri kedua abang?”
Masdudin memalingkan wajah dari kerlingan istrinya. Bukan dia ingin menyembunyikan sesuatu, tapi untuk membuang rasa kesal yang selalu dilakukannya jika Asyura mulai agak merajuk. Belakangan, Asyura memang kerap melontarkan sindiran serupa itu. Mungkin juga karena usia yang makin beranjak dan garis-garis ketuaan yang kian ramai. Padahal Asyura pun tahu, Masdudin takkan mungkin punya istri lebih dari satu. Dia tak cukup punya modal. Tampang pas-pasan. Kantong pas-pasan. Keberanian pun pas-pasan.
Tapi, pertanyaan itu pun wajar dilontarkan Asyura. Sejak pertama kali Mak Saniah menjajakan kue gemblong ke rumahnya hingga kini, gemblong Mak Saniah ya begitu-begitu saja. Bentuknya sama gepeng seperti kue-kue gemblong lainnya, agak besar dan agak lembek. Kue gemblong Mak Saniah juga tak sekering, serenyah, dan seenak gemblong yang pernah dibeli Masdudin ketika dia dan keluarganya jalan-jalan ke Taman Bunga di kawasan Puncak tahun lalu. Jadi, terasa ada yang aneh jika kini dia merindukan kue gemblong Mak Saniah.
”Bang Masdud,” Asyura mengagetkan suaminya. ”Ada apa?”
Masdudin jadi sedikit serba salah.
”Aku cuma…” Masdudin menyahut sambil coba mencari jawaban yang pas. ”Aku cuma merasa aneh saja. Belakangan kan Mak Saniah tak pernah datang lagi. Dia kan sudah sangat tua. Jangan-jangan….”
”Sudah meninggal maksud Abang?”
Masdudin menyambar permen di atas meja. Sisa jajanan anaknya. Ada sedikit rasa lega di dadanya begitu rasa manis dan hangat merayapi rongga mulutnya.
Usia Mak Saniah memang sudah sangat tua bahkan ketika beberapa tahun lalu dia mulai menyambangi rumah Masdudin. Seluruh tubuh putih wanita tinggi besar itu sudah dipenuhi keriput. Langkahnya tertatih-tatih. Apalagi dengan beban panci berdiameter hampir 50 cm berisi kue gemblong dan unti yang dijajakannya. Langkahnya makin terpiuh-piuh. Itulah yang membuat Masdudin atau istrinya tak pernah bisa membiarkan Mak Saniah pergi dari rumahnya tanpa menjual lima hingga enam kue jajanannya. Padahal, kue-kue itu pun hanya dimakan satu-dua buah. Anak-anaknya lebih suka makan panganan lain. Kue-kue gemblong Mak Saniah dibeli hanya agar hati Mak Saniah senang.
”Belakangan Mak Saniah memang makin jarang datang. Aku dengar dia sudah sakit-sakitan,” kata Asyura.
”Tapi ya memang kasihan juga orang setua dia masih juga berjualan,” Masdudin menimpali.
Asyura lalu bercerita tentang Mak Saniah lebih panjang. Cerita yang sebelumnya tak pernah dia dengar. Bahwa Mak Saniah adalah wanita dengan tujuh anak. Bahwa anak-anaknya pun sudah pada ”jadi orang”. Bahwa Mak Saniah memilih tetap mendiami rumah sederhananya di kampung yang bertetangga dengan kampung tempat di mana Masdudin dan keluarganya tinggal. Bahwa Mak Saniah, setelah suaminya wafat belasan tahun lalu, memilih menghidupi dirinya dengan berjualan kue gemblong buatannya sendiri. Dengan begitulah dia bertahan hidup tanpa harus merepotkan anak-anak dan cucu-cucunya.
”Jadi, anak-anak Mak Saniah sebetulnya sudah melarang dia berjualan. Tapi Mak Saniah tetap membandel,” kata Asyura menutup cerita panjang lebarnya.
Masdudin juga tak pernah meminta istrinya untuk mencari tahu bagaimana kabar Mak Saniah saat ini, tapi pada hari Minggu berikutnya keduanya sudah berada di depan rumah Mak Saniah setelah berusaha mencari dengan bertanya ke sana kemari. Dari bertanya itu pula keduanya tahu bahwa Mak Saniah kini memang sudah tak lagi bisa memaksakan diri untuk berjualan. Beragam penyakit berkumpul dan menyatu dalam tubuh rentanya. Mulai dari pikun, rematik, pengapuran, darah tinggi, sesak napas, dan mata yang tak lagi bisa melihat dengan jelas. Cuma kuping Mak Saniah yang masih berfungsi dengan lumayan baik.
Dari pembaringan Mak Saniah menyambut kedatangan Masdudin dan Asyura setelah seorang cucunya, seorang gadis berusia 20-an tahun, mengantarkan mereka masuk ke kamar Mak Saniah.
Begitu masuk ke ruangan itu Masdudin dan Asyura membaui wewangian asing tapi menyegarkan. Kamar itu, meskipun tidak terbilang bagus, tampak sangat terawat. Tak banyak benda-benda berserakan. Tempat Mak Saniah berbaring juga sangat bersih.
”Ya Allah mimpi apa ya Mak semalam? Elu tahu rumah Mak, Neng?” sambut Mak Saniah. Masdudin melihat ada genangan air di kedua sudut mata Mak Saniah.
”Ya, kita kan tetangga, Mak. Tetangga kampung. Nggak jauh. Cuma satu kali naik mobil angkutan.”
Mak Saniah tersenyum tipis. ”Ya, memang nggak jauh ya, Neng. Makanya Mak pun kalau jualan sampai ke rumah Neng Syura….”
Tanpa diminta, gadis yang tadi mengantarkan Masdudin dan Asyura sudah menyuguhkan dua gelas teh panas dengan sekaleng biskuit.
”Ayo, minum dulu dah, Neng. Makan tuh biskuitnya. Cuma itu yang ada. Mak sudah nggak sanggup bikin kue gemblong,” ujar Mak Saniah begitu baki diletakkan di atas meja.
Masdudin dan istrinya bertukar pandang dan berbagi senyum.
”Mak juga sebenarnya masih kepingin jualan, Neng.” Mak Saniah melanjutkan kalimatnya sambil menggenggam tangan Asyura yang kini sudah duduk di sisi Mak Saniah di tempat tidur Mak Saniah. ”Bukannya apa-apa, Neng. Mak ingeeeet terus sama orang-orang yang suka beli gemblong Mak, terutama Neng Asyura ama laki Neng Asyura yang nggak pernah nggak beli gemblong Mak. Kalau orang sudah cocok kan susah ya, Neng. Biar banyak makanan laen, tetep yang dicari gemblong-gemblong Mak Niah juga. Iya kan?”
Masdudin tersenyum sambil melempar kerling kepada istrinya.
”Betul, Mak. Gemblong Mak Niah memang beda dari yang lain,” Asyura menimpali, menahan senyum. ”Manisnya pas, lembeknya pas, gedenya pas, terus nggak mahal.”
Wajah Mak Saniah tampak cengar. Berbinar. ”Ya, Mak mah kalau jualan emang nggak cari untung gede-gede. Yang penting ada untungnya biar sedikit. Cukup buat makan. Buat apa Neng harta dibanyakin. Amal ibadah yang harus dibanyakin. Harta mah nggak dibawa mati.”
Dua minggu berikutnya, pada Minggu yang cerah, Masdudin mendengar suara seseorang di luar.
”Saya Cindi, Pak,” kata gadis yang berdiri di hadapan Masdudin begitu dia membuka pintu. ”Saya cucu Mak Saniah yang kemarin mengantar Bapak sama Ibu ketemu Mak.”
”O, iya… iya… saya ingat. Kan baru kemarin,” kata Masdudin seraya mempersilakan tamunya masuk. Dari kamar belakang Asyura muncul dan memperlihatkan kekagetannya.
”Ada apa ini?” Asyura langsung bertanya. ”Apa ada kabar buruk tentang Mak Saniah?” lanjut Asyura. Kali ini, pertanyaan itu disimpannya dalam hati. Namun, ada debar-debar di dadanya.
Cindi mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih dan memberikannya kepada Asyura. ”Ini ada titipan dari Mak. Katanya minta disampaikan kepada Bu Asyura. Karena ini amanat, jadi buru-buru saya sampaikan.”
”Surat apa ini?” Asyura bertanya.
”Nggak tahu, Bu. Saya juga nggak bertanya kepada papa yang minta saya mengantarkannya ke sini sesuai pesan Mak.”
Asyura menimang-nimang amplop itu. Adakah Mak Saniah mengembalikan uang-uang yang selama ini diterimanya karena menganggap dirinya berutang? Rasanya tak mungkin.
”Kabar Mak Inah gimana?” Masdudin tak lagi bisa menahan kesabarannya untuk mendengar kabar Mak Saniah setelah beberapa saat sama-sama terdiam.
”Mak sudah meninggal,” jawab Cindi segera. Ia menatap wajah Masdudin dan Asyura bergantian.
”Innalillahi….” Masdudin dan Asyura berucap hampir berbarengan.
”Meninggalnya hari Jumat kemarin,” lanjut Cindi.
Masdudin dan Asyura saling berpandangan. ”Kenapa kami tak dikabari?” Masdudin lebih dulu bersuara.
Cindi mengulas bibirnya dengan senyum. ”Maaf… maaf… kami memang kepikiran untuk memberi kabar. Tapi kami belum tahu ke mana harus memberi kabar. Rumah Bapak dan Ibu pun baru saya coba cari hari ini sesuai petunjuk Mak waktu masih hidup. Itu pun karena memang ada amanah yang harus kami sampaikan. Kami tidak mungkin menahan amanah, apalagi bagi orang yang sudah wafat. Alhamdulillah ketemu.”
Membuang napas sekaligus rasa menyesalnya karena tak bisa menghadiri prosesi pemakaman Mak Saniah, Asyura lalu ingat cerita Rosa, putri bungsunya. Hari Jumat lalu, kata Rosa kemarin, melihat Mak Saniah duduk di teras rumah mereka dengan panci kue gemblong tergeletak di sisinya.
”Dia nggak bilang apa-apa, bunda. Diam aja seperti patung. Terus aku ke dapur untuk mengambil piring karena ayah nggak ada dan bunda di kamar mandi, Aku kan ada uang dua ribu untuk beli kue gemblongnya. Tapi, waktu aku ke depan lagi, eh Mak Saniahnya udah nggak ada. Aku cari-cari nggak ketemu. Padahal kan dia jalannya lamban. Tapi, aku kejar sampai ke depan juga nggak ketemu. Ya udah, aku nonton TV lagi,” kata gadis berusia lima tahun itu.
Asyura ingin menyampaikan cerita itu kepada Cindi, tapi dia membatalkannya karena Cindi sudah buru-buru mohon diri untuk pergi. Asyura dan Masdudin melepas kepergian Cindi dengan ucapan terima kasih berulang-ulang.
”Apa isinya, bunda?” Masdudin mengambil amplop yang masih tergeletak di atas meja.
”Aku juga penasaran. Cepat buka, Bang,” sahut Asyura.
Dengan cepat Masdudin merobek amplop itu dan mengeluarkan isinya. Berdua mereka membaca tulisan pertama pada isi surat Mak Saniah: ”Cara Bikin Kue Gemblong Mak Saniah”.
Tanah Kusir, 30 Desember 2009
Dimuat KOMPAS, 4 April 2010
Saturday, October 16, 2010
- 5:30 AM
- Unknown
- No comments
Aba Mardjani
Nima
SOBRI bersiul. Jari-jari tangannya yang kasar terus menjelajahi lekuk-lekuk tubuh Arni. Gadis berusia enam tahun itu sesekali tertawa cekikikan. Kadang terdengar teriaknya, ‘jangan keras-keras, Pak!’ Sobri tertawa. Kadang menggelitik ketiak bocah itu. Setelah selesai menjelajahi seluruh tubuh anak itu dengan sabun di tangannya, Sobri menyambar gayung dan menyendok air di bak mandi lalu mengguyur tubuh bocah itu. Arni berjingkrak-jingkrak seperti tengah bermain lompat tali. Mengusir rasa dingin. Dengan handuk yang baru dicuci, Sobri serta-merta menyergap wajah bocah itu. Arni gelagapan. Sobri memindahkan balutan handuk itu ke tubuh bocah itu. Lalu memapahnya keluar dari kamar mandi. “Seger kan?” katanya kepada gadis itu.
“Betul hari ini Makku pulang, Pak?” gadis itu bertanya kepada ayahnya ketika Sobri dengan telaten menyeka sisa-sisa air dari tubuhnya.
“Jika tidak ada halangan, Mak pulang hari ini,” jawab Sobri. Wajah gadis itu berbinar-binar. Matanya berkilat-kilat. Sobri menyimpan suka citanya dalam dadanya. Menahannya sekuat tenaga agar letupannya tak terlihat Arni. Tiga tahun sudah Nima tak pulang dari Jepang dengan berbagai alasan dan selama tiga tahun itu pula kerinduan Sobri tertahan.
“Mak bawa apa nanti, Pak?” Arni mengusik khayal Sobri yang mulai liar dibakar api kerinduan yang begitu lama diperam.
“Boneka. Boneka Jepang,” jawab Sobri. “Makmu pernah bilang begitu. Apa namanya? Ah ya, momotaro. Namanya momotaro.”
Arni cekikikan melihat wajah ayahnya ketika mengucapkan kata itu. “Tapi, seperti apa itu momo...momotaro itu, Pak?”
“Wah, Bapak juga nggak tahu. Nanti saja kita lihat sendiri seperti apa.”
“Lalu, bawa apa lagi?” Arni melanjutkan pertanyaan sambil coba menyisir rambutnya yang panjang sebahu.
Sobri berpikir sesaat. Matahari terus merambat mendaki kaki langit di sebelah timur, mengintip dari balik gunung, satu-satunya gunung yang tinggal di desa Cibaresah itu.
“Uang, Pak. Uang,” Arni menjawab sendiri pertanyaannya. “Uang untuk sekolah.”
Sobri mengambil sisir dari tangan anak itu, membantunya menyisiri rambut anaknya. Ditatapnya wajah bocah itu di kaca. Sobri mengagumi wajah Arni, wajah yang mirip dengan wajah ibunya. Alis matanya yang hitam, bulu matanya yang panjang, bibirnya yang kemerahan, hidungnya yang mancung.
Dulu, Nima adalah kembang di desanya. Bunga indah yang mekarnya tak cuma membuat banyak orang terkagum-kagum, tapi juga harum menebarkan wewangiannya kepada siapa pun yang berada di dekatnya. Sebagai putra kepala desa, Sobri beruntung akhirnya berhasil memetik bunga indah bernama Nima itu. Tapi hidup ternyata berubah begitu cepat. Sobri menjadi bukan siapa-siapa ketika ayahnya meninggal dunia setahun setelah pernikahannya dengan Nima sampai kemudian datang seorang pengerah tenaga kerja dan menawarkan pekerjaan dengan gaji menggiurkan di Chiba, Jepang. “Chiba itu seperti Depok. Letaknya tak begitu jauh dari Tokyo, seperti juga Depok yang tak begitu jauh dengan Jakarta,” kata sang pengerah tenaga kerja. “Banyak orang yang bekerja di Tokyo, tapi tinggalnya di Chiba. Jadi, Chiba itu kawasan pemukiman, sedangkan Tokyo itu kawasan bisnis.” Sobri cuma manggut-manggut. Baginya tak penting di mana Chiba berada. Yang terpenting adalah Nima mendapatkan pekerjaan dengan gaji selangit untuk memperbaiki kehidupan keluarga dan rumah tangganya
“Mak pulang jam berapa, Pak?” Arni mengusik lamunan Sobri lagi.
“Agak sore katanya,” jawab Sobri.
Nima tentu sudah berada dalam perut bus kota yang kini tengah berlari menuju arah barat dengan angin menampar-nampar pipinya serta mencerai-beraikan rambutnya, Sobri membatin. Nima pun tentu tengah dibakar kerinduan setelah tiga tahun bekerja. Dia pasti sudah tak sabar ingin memeluk Arni, buah cinta mereka setelah tiga tahun bekerja keras mengumpulkan uang demi keluarganya. Tentu dalam koper yang dibawanya telah terselip barang-barang bagus untuk Arni. Kimono baru untuk anak-anak seperti biasa dibawanya setiap kali pulang. Boneka-boneka Jepang yang tak pernah dilupakannya. Hadiah buat Sobri adalah api cintanya, kehangatan tubuhnya, dan gelegak gairahnya.
Satu hal lagi yang diinginkan Sobri. Nima tak perlu lagi kembali ke Jepang. Dengan uang-uang kirimannya selama ini, Sobri telah memiliki 2 buah sepeda motor yang digunakannya untuk ngojek dan satunya lagi disewakan. Untuk ukuran warga desa Cibaresah, rumah mereka juga sudah lumayan. Hampir semua bangunan terbuat dari batu. Bukan dari kayu atau bambu seperti umumnya rumah tetangga-tetangganya. Biarlah hidup sederhana, asalkan setiap hari bisa bersama, pikir Sobri. Sobri juga ingin memberi Arni adik.
Adik?
Sobri mendengar ketukan di pintu. Ibunya berdiri dengan sesungging senyum. “Kapan mantuku katanya tiba di rumah, Sobri?” dia langsung menyergap Sobri. “Siapa saja yang pulang bersamanya? Ainun, Sarti, apa juga ikut pulang?”
Arni melompat mendengar suara neneknya. Menghampiri dan mencium tangan keriput neneknya.
“Mak pulangnya sore, Wak,” Arni membantu Sobri menjawab pertanyaan ibunya. “Kata Bapak...”
“Betul, Sobri?” wanita itu mengambil kursi dan duduk perlahan-lahan.
“Kabarnya begitu, Bu. Tapi, Ainun dan Sarti mungkin tidak ikut pulang,” kata Sobri menyebut dua nama TKW yang ikut bekerja bersama Nima di Jepang. Ainun dan Sarti adalah tetangga mereka. “Lagi pula, kabarnya mereka sudah pindah ke...ke...ke Malaysia kalau saya tidak salah.”
“Kenapa rupanya?”
“Biasa, Ibu. Kontrak mereka di Jepang sudah habis.”
Satu per satu keluarga dekat dan keluarga jauh serta tetangga Sobri datang dan kemudian meramaikan rumah di tikungan jalan di mana di depannya terdapat sungai kecil yang bening airnya membuat ikan-ikan kecil yang berlari-larian ke sana ke mari terlihat sangat jelas. Arni pun sudah asyik bercengkerama dan bercanda dengan sepupu-sepupunya. Dalam beberapa saat saja rumah itu sudah berubah menjadi layaknya pasar. Sesekali Sobri mendapat sindiran-sindiran nakal. Sobri menanggapinya dengan senyum-senyum.
“Ingat, Sobri,” kata abangnya, “jangan kau izinkan lagi Nima ke luar negeri. Selama ini kan dia baru tiga kali pulang setelah lima tahun bekerja. Dia harus berhenti. Semua kau sudah punya. Ada rumah. Ada sepeda motor. Apa lagi?”
“Yang kurang cuma adik buat Arni,” sambung yang lain.
“Ya itu penting. Kau laki-laki tulen. Apa mau kau bertahun-tahun terus kesepian? Lagi pula, Nima itu kan tidak jelek. Berbahaya kalau dia pun terlalu lama di luar negeri.”
***
TAPI, sepekan setelah kepulangannya di Cibaresah, Nima mengatakan akan kembali ke Jepang, mendahului keinginan Sobri untuk mengatakan Nima tak boleh kembali ke luar negeri.
“Minggu depan saya sudah harus kembali ke Jepang, Pak,” kata Nima ketika suaminya tengah memanaskan sepeda motor di depan rumah.
Sobri menahan degup jantungnya. Rasa sesal juga menyelinap di lubuk hatinya. Kenapa aku tak mengatakan dia harus berhenti bekerja sejak kemarin? Sobri mengutuk keterlambatannya.
Nima mengatakan tak bisa berlama-lama di Cibaresah karena perusahaannya di Jepang hanya memberikan izin cuti selama dua minggu. “Kantor saya buka setiap hari, Pak,” kata Nima ketika Sobri pura-pura mengutak-atik motornya sambil menahan gejolak di dadanya.
Dia tahu, Nima takkan mudah dicegah. Akan jadi perkelahian besar jika dia bersikeras Nima tak boleh kembali ke Jepang. Dan, jika Nima benar-benar pergi, yang akan kehilangan bukan cuma dirinya, tapi juga Arni, putrinya. Kepadanya Arni juga mengatakan ingin ibunya tak bekerja lagi di luar negeri.
“Bilang sama Makmu,” kata Sobri dua hari lalu ketika Arni mengungkapkan hal itu.
“Aku takut, Pak.”
“Kenapa takut?”
“Takut Mak marah.”
“Kenapa Makmu marah?”
Arni tak bisa menjawab. “Makmu takkan memarahi kamu cuma karena kamu mengatakan kamu ingin Makmu tak kembali ke luar negeri,” kata Sobri meyakinkan putrinya.
“Bapak yang bilang,” Arni merajuk.
Berdiam sesaat, Sobri kemudian mengatakan, “ya, nanti Bapak yang akan bilang.” Dan Arni pun berjingkrak-jingkrak kegirangan. Tapi ternyata dia belum sempat mengatakannya. Dan kini dia harus menahan rasa gundah di dadanya.
Terbayang di wajahnya duka Arni kelak begitu ibunya kembali ke Jepang. Duka seorang bocah yang menginginkan dekapan hangat dan kasih sayang orang tuanya. Duka seorang bocah yang tak lagi bisa bercerita kepada ibunya jika dia terluka karena terjatuh, tak lagi bisa menyampaikan rasa bangganya setelah bisa menghafalkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dari guru mengajinya, karena tak bisa lagi meminta uang jajan jika ayahnya sedang tak ada di rumah, atau mengantarkannya berjalan-jalan di pematang sawah sambil menikmati hamparan padi yang menguning indah seperti permadani.
Kepulangan Nima memang membawa uang yang sangat banyak. Mereka bisa membeli pesawat televisi baru, membeli sepeda kecil untuk Arni, membangun pagar rumah. Malahan Nima sempat membawa Arni ke kota dan membuka tabungan untuk putrinya. Andaikan daya listrik di rumah besar, Nima juga sanggup membelikan keluarganya kulkas dan mesin cuci. Tapi, uang itu sama sekali tak bisa menggantikan sosok Nima. Yang mereka butuhkan bukan cuma uang yang banyak, tapi juga kasih sayang yang berlimpah dan tak tersekat oleh jarak. Karena itu Sobri lebih suka Nima tetap berada di rumah, di Cibaresah, bahkan meskipun mereka tak memiliki apa-apa.
Tapi, kepergian Nima tak bisa dicegah. Seminggu kemudian, Arni cuma bisa menjerit-jerit ketika ibunya melangkah meninggalkan rumah. Tak satu orang pun bisa menahan Nima. Bahkan air mata dan tangis Arni sekalipun.
***
DALAM perut pesawat terbang yang akan membawanya ke Jepang, air mata Nima meleleh. Tangis dan jeritan Arni terdengar melengking di telinganya. Sesaat kemudian tawa kebahagiaan Arni juga bermain-main dalam benaknya. Juga dekapan Arni yang begitu ketat menyambut kedatangannya. Dekapan yang seolah tak ingin dilepaskannya. Sesaat Nima mengutuk dirinya yang pada akhirnya tega meninggalkan Arni, bocah yang begitu membutuhkan kasih sayangnya. Berkali-kali dia mencoba tetapi selalu gagal untuk menepis semua bayang-bayang Arni.
Dari dalam tasnya dia kemudian mengeluarkan sebuah foto. Foto Erica. Nima ingat, foto itu diambil Eric Sato ketika gadis berusia dua tahun itu tengah berlari di sebuah taman bermain di Chiba, tak jauh dari Hotel Ambassador. Gadis itu sangat menggemaskan. Erica jadi gadis kebanggaan Eric, laki-laki yang menyergapnya di suatu malam yang begitu dingin di bulan Februari tiga tahun yang lalu. Segunung sesal karena dia lupa mengunci pintu kamar apartemennya tak lagi punya arti ketika semuanya terjadi begitu cepat. Sesudahnya Nima cuma bisa mengurai air mata sia-sia hingga pagi menjelang dan bongkahan-bongkahan air yang membeku di atas jendela sedikit demi sedikit mengalirkan cairnya.
“Aku melakukannya dengan nafsu,” ujar Eric setelah benih-benih mulai tumbuh dalam rahim Nima. “Tapi nafsuku bukan tanpa cinta. Besok kita menikah. Aku memaksamu untuk menjadi istriku. Aku akan menjadi ayah dari janin dalam kandunganmu.”
Berkali-kali Nima menegaskan bahwa dia sudah memiliki suami dan seorang anak, namun Eric tak mau memercayainya. “Kamu masih sangat muda. Tidak mungkin kamu sudah menikah. Kamu haru menjadi istriku,” katanya.
Kenyataannya Eric memang sangat mencintainya. Dia memberi Nima segala perhatian yang dibutuhkan seorang perempuan, sampai kemudian Erica lahir, sampai kemudian dia menemukan dirinya sudah terperangkap dalam labirin kebingungan antara cintanya kepada Sobri dan Arni, dengan rasa sayang yang diam-diam tumbuh dan tumbuh dan tumbuh terhadap Erica dan Eric.
Di sebuah apartemen tak seberapa jauh dari stasiun kereta MRT di Chiba (Nima selalu berjalan kaki ke stasiun itu kemudian naik kereta cepat ke Narita dan kemudian terbang ke Indonesia), Nima tahu Erica kini tengah menantikan kedatangannya. Juga Eric yang melepaskan kepergiannya ke tanah airnya dengan ancaman mematikan. “Aku akan menyusulmu, aku akan menjemputmu jika kamu tidak kembali dalam waktu dua minggu.”
Nima tahu dia tak mungkin mengabaikan ancaman itu. Eric akan benar-benar menyusulnya jika dia mengingkari janjinya. Nima tahu siapa suaminya. Nima tak tahu kegemparan apa yang akan melanda Cibaresah jika hal itu sampai terjadi.
Nima kemudian menyandarkan kepalanya setelah diam-diam menelan beberapa butir obat tidur di toilet. Dalam pejam matanya tiba-tiba bayangan Arni melintas. Tengah berlari-lari bersama Erica sambil tertawa-tawa di sebuah taman entah di mana.* Tanah Kusir, Juli 2009
Dimuat KOMPAS, 13 Desember 2009
Friday, October 15, 2010
- 9:18 AM
- Unknown
- No comments
TIGA kali Ny. Laila tak sadarkan diri. Yang pertama pukul sembilan pagi ketika ia mendapat kabar Mansur anaknya meninggal dunia. Dunia tiba-tiba terasa jadi begitu gelap. Tak pernah terbayangkan anak keduanya akan pergi begitu cepat. Karena itu, begitu mendengar kabar duka itu seluruh persendian tubuhnya terasa lunglai. Ia seperti kehilangan seluruh darah dan tenaganya.
Ny. Laila pingsan untuk kedua kalinya pukul sebelas siang begitu ia akhirnya tahu orang kasak-kusuk membicarakan soal penyebab kematian Mansur. Putranya yang baru berusia 18 tahun itu meninggal bukan karena komplikasi penyakit yang selama ini ia derita dan membuatnya harus dirawat di rumah sakit. Mansur meninggal karena bunuh diri. Ia dikabarkan melompat dari lantai empat rumah sakit tempatnya dirawat selama ini. Untuk pertama kalinya Ny. Laila berteriak histeris. Ia tak ingin percaya dengan apa yang ia dengar.
Untuk ketiga kalinya Ny. Laila pingsan setelah jasad Mansur dibawa pulang dari rumah sakit. Ia pingsan setelah melolong-lolong sambil mendekap tubuh lunglai Mansur. Sisa-sisa darah masih tampak di beberapa bagian tubuh putranya. Dua orang petugas kepolisian baru saja pulang. Keduanya gagal membujuk Mahmud suaminya untuk menuntut pihak rumah sakit yang telah mengabaikan unsur pengamanan bagi para pasien. Kematian Mansur tak lepas dari lemahnya hal itu. Mahmud tak ingin lagi direpotkan untuk urusan-urusan seperti itu. Ia ingin menerima kematian anaknya sebagai suratan takdir. Kecuali kalau tuntutan itu bisa menghidupkan lagi anaknya.
Kini Ny. Laila duduk bersimpuh di salah satu sudut ruangan tak jauh dari jasad Mansur dibaringkan. Ia merasa seluruh tubuhnya kian lemah. Tatapan matanya kosong. Ia seperti tak lagi mendengar orang-orang yang berganti-ganti mendekatinya dan menghiburnya. Sesekali air matanya meleleh. Matanya sembab. Mahfud, kakak Mansur, duduk bersimpuh di samping jenazah adiknya sembari tak henti-henti membacakan Surat Yasin. Suaranya patah-patah. Di sebelahnya, Mahmud ayahnya juga membacakan Surat Yasin. Suaranya terputus-putus dalam isak yang tertahan. Sesekali ia menyeka air mata. Sesekali ia juga berhenti membaca ayat-ayat suci itu untuk menerima uluran tangan atau dekapan para tamu yang datang untuk menyatakan ikut berbela sungkawa.
Di mata Ny. Laila terus menerus melintas bayangan Mansur yang ceria. Di usia 16 dua tahun lalu, Mansur adalah anak yang sangat sehat. Meskipun badannya gemuk, ia adalah anak yang lincah. Suka bermain sepakbola. Ia juga rajin mengikuti kegiatan remaja mesjid dan aktif sebagai anggota kelompok marawis. Mansur adalah anak yang disukai teman-temannya karena perangai santunnya. Ia tak pernah menyakiti perasaan teman-temannya.
Memasuki usia 17, Mansur memang mulai mengeluhkan tubuh tambunnya. Cinta membuatnya ingin tampil lebih menarik. Mona, gadis temannya di kelompok remaja mesjid yang ditaksirnya, kata Mansur kepada ibunya, menolak cintanya. Mona ingin punya pacar yang tubuhnya langsing.
Mengikuti nasihat ibunya, Mansur kemudian mencoba berpuasa tiap hari Senin dan Kamis. Tapi, baru berjalan satu bulan, ia berhenti karena tak tahan godaan. Upaya mengurangi makan pun tidak berhasil karena Mansur juga tak bisa menahan rasa lapar. Ny. Laila tahu bagaimana Mansur secara sembunyi-sembunyi makan atau jajan.
Ayahnya yang kemudian menyarankan Mansur meminum minuman suplemen pelangsing tubuh yang banyak diiklankan dan dijual di toko-toko. Dan, ternyata, hasilnya sangat manjur. Bobot badan Mansur turun secara menakjubkan karena ia memang seperti kehilangan nafsu makan. Tapi, empat bulan kemudian, Mansur jatuh sakit. Dokter yang memeriksa meminta Mansur menjalani rawat inap karena ususnya mengalami luka serius. Mahmud yang kemudian tak henti menyesali dirinya. Kenapa ia sendiri yang justru menyarankan anaknya meminum suplemen pelangsing tubuh itu? Mengapa ia tak membiarkan saja Mansur memiliki tubuh tambun tapi sehat? Apalagi setelah dua pekan dirawat di rumah sakit, Mansur kemudian jadi langganan. Ia bolak-balik menjalani perawatan karena penyakitnya kerap kali kambuh. Yang terakhir, kata dokter, ia mengalami komplikasi. Selain luka di usus yang kembali kumat, ginjalnya juga terganggu. Karena itu ia kembali harus dirawat untuk waktu yang tak jelas sampai kapan.
Lima malam sebelum kematian Mansur, Mahmud bersimpuh di atas sajadah di kamarnya di tengah malam. Kepada Tuhan ia panjatkan doa agar putranya segera disembuhkan. Kepada Tuhan pula ia mengadu bahwa ia tak lagi punya uang untuk membayar biaya-biaya perawatan den pengobatan anaknya. Hampir semua benda berharga di rumahnya telah dijualnya. Ia kini hampir tak memiliki apa-apa lagi.
Empat malam sebelumnya, Ny. Laila membesuk putranya. Dan menginap di rumah sakit. Tengah malam ia terbangun dan terkesima melihat sesosok wanita berpakaian serba putih berdiri di sudut ruangan. Sorot mata perempuan berambut panjang itu begitu tajamnya sampai-sampai mulut Ny. Laila ternganga dan napasnya terengah-engah ketakutan. Keringat dingin mengucur dari sekujur tubuhnya. Sorot mata itu seolah mengatakan ia tak boleh berada di situ. Sorot mata itu melukiskan betapa perempuan itu membencinya. Ketika akhirnya bayangan itu lenyap, Ny. Laila merasa tubuhnya panas dingin. Ia tak mampu lagi memejamkan mata sampai pagi tiba. Sesampainya di rumah, panas dinginnya pun tak kunjung hilang. Sorot tajam tatapan mata perempuan misterius itu seolah terus mengikutinya. Karena itu, ia tak lagi berani membesuk putranya.
Juga kemarin, sehari sebelum Mansur dikabarkan meninggal dunia. Kata Mahmud suaminya, Mansur ingin segera dibawa pulang. Tapi, sebelum itu, ia ingin sekali ibunya datang membesuk. Amat merindukan ibunya. Dengan alasan tubuhnya masih lemah, Ny. Laila menolak pergi ke rumah sakit. Sampai kemudian ia mendengar kabar itu dan kini ia cuma bisa menyesali semuanya.
Ny. Laila masih bersimpuh di tempatnya. Tiba-tiba ia menangis lagi. Ia ingat ucapan seorang guru ngajinya. Bahwa orang yang meninggal karena bunuh diri, arwahnya tak bisa diterima Tuhan. Tuhan bahkan memurkai makhluk-Nya yang membunuh dirinya hanya karena ingin melepaskan diri dari segala belitan persoalan hidup. Duka mendalam menderanya. Dalam tangis ia berdoa semoga Tuhan mau memaafkan segala kesalahan anaknya.
***
SEBAGAI tetangga, aku datang melayat sesaat sebelum jenazah Mansur dimandikan. Kuucapkan rasa belasungkawa mendalam kepada Mahmud yang tampak tegar. Matanya tampak lelah dan merah. Ia tersenyum getir. Kuucapkan juga rasa belasungkawa kepada Ny. Laila. Air matanya meleleh. Tak ada senyum. Tatapannya kosong. Menembus relung-relung gelap di antah berantah.
Kusingkap kain penutup wajah Mansur. Di pipi kirinya ada sisa-sisa darah yang telah mengering. Tapi ia tampak damai. Pejam matanya seperti bocah remaja yang tengah tertidur pulas sekali. Bahkan bibirnya seperti tengah tersenyum. Jauh dari gambaran-gambaran menyeramkan yang secara liar melintas dalam benakku. Sebelum pulang, dengan tulus kuucapkan pula doa. Allahummaghfirlahu warhamhu waafihi wa’fu anhu. Setelah itu kubacakan Surat Alfatihah. Semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan. Apapun penyebab kematiannya.
Ocha putriku baru saja bangun dari tidur siangnya ketika aku tiba di rumah. Ada segaris putih di sudut bibirnya tanda ia ngiler waktu tidur.
“Ayah habis dari mana?” ia bertanya. Suaranya serak.
“Habis melayat.”
Gadis berusia enam tahun itu menyibak rambut yang menutupi matanya.
“Melayat Bang Acung?” ia bertanya lagi.
“Bang Acung? Bukan. Bang Mansur,” kataku.
“Iya, Yah. Bang Acung itu Bang Mansur,” istriku menimpali sambil lewat.
“O, gitu. Memangnya kenapa, Ocha?” aku bertanya melihat ia seperti sangat tertarik.
“Yah, Bang Acung kata orang mati karena bunuh diri,” gadisku bersila di hadapanku.
“Ocha dengar dari siapa?”
“Kata orang-orang, Yah. Bunuh diri itu ‘kan nggak boleh ya, Yah. Tapi orang-orang nggak tahu sih. Bang Acung itu bukan bunuh diri, Yah.”
“Kenapa Ocha bilang begitu?”
“Tadi Ocha mimpi, Yah,” jawabnya.
Gadis kecilku itu kemudian menceritakan mimpinya. Katanya, Bang Acung mula-mula sedang tidur di rumah sakit. Tiba-tiba ia terbangun karena mendengar ada yang memanggil-manggil namanya. Suaranya datang dari samping kamarnya. Bang Acung lalu membuka jendela kamarnya. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat seekor cicak. Kepalanya dua. Lalu Bang Acung mendengar bisikan. Kata suara itu, kalau mau sembuh dari penyakitnya, Bang Acung harus memakan cicak berkepala dua itu. Bang Acung, cerita putriku selanjutnya, menyambar cicak itu untuk dimakan. Saat itulah ia terpeleset dan terpelanting jatuh ke bawah.
“Jadi begitu ceritanya, Yah. Jadi, Bang Acung itu bukan mati karena bunuh diri. Dia jatuh. Orang-orang tidak pada tahu sih, Yah. Coba kalau mereka tahu seperti Ocha, orang-orang pasti tidak akan bilang Bang Acung bunuh diri.”
Aku agak tertegun. Lalu terbayang wajah damai Mansur. Dengan bibirnya yang seolah tersenyum. Diam-diam aku pun berharap mimpi putriku tak sekadar bunga tidur.
Tanah Kusir, Juli 2005
Dimuat KOMPAS, 14 Agustus 2005