Cincin Perak Bermotif Burung Hantu
REDUP
senja merayap seperti leleh lilin, perlahan, mengaduk-aduk perasaanku. Aku tak ingin
lagi menunggu lebih lama datangnya waktu sesudah Isya dan segera menemukan
diriku berada dalam pesta ulang tahun Meita. Ratusan kali, mungkin, kubaca
lembar kertas yang ditempelkan Agusman, petugas harian Panti Manula Berbagi
Kasih di papan pengumuman panti, pemberitahuan tentang perayaan ulang tahun
Meita yang ke-66. Aku ingin memastikan diriku takkan melewati pesta kecil itu.
Harinya, waktunya, tempatnya, dan tentu saja kado yang akan kupersembahkan bagi
wanita itu.
Bagiku,
pertemuan kembali dengan Meita sungguh merupakan rencana Tuhan yang tak ingin
kuterka bagaimana bagian penutupnya. Aku ingin kisahnya mengalir serupa embus
angin atau bilur aliran air. Apakah pada bagian akhirnya aku akan menikah dengan
perempuan yang dulu pernah kucintai dengan segenap raga dan jiwaku itu? Apakah
Tuhan pada akhirnya mempertemukan kami pada saat tubuh kami sama-sama
direntakan oleh waktu? Atau apakah kami akan tetap seperti selama ini,
mencintai tanpa benar-benar memiliki setelah Meita pada akhirnya menikah dengan
pria lain dan aku menikah dengan perempuan lain dengan alasan masing-masing?
Meita
datang ke panti ini enam bulan lalu, tiga tahun setelah aku menjadi penghuni.
Dia mengagetkan aku ketika suatu sore aku sedang menikmati alamanda cokelat
yang baru mekar di salah satu sudut halaman panti.
“Erwan?”
suara itu seperti tercekat karena diucapkan berbarengan dengan tolehan kepalaku
setelah mendengar reranting patah di belakangku.
“Mei?”
Aku terperangah melihat sosok Meita berdiri di hadapanku dengan selendang sutra
putih melingkar di lehernya. Dalam tempo sepersekian detik kucoba
mengingat-ingat apa mimpiku semalam untuk pertemuan tak terduga sore ini? Ah,
tak ada firasat atau mimpi apapun. Semuanya berjalan seperti biasa.
Aku masih
melihat jejak-jejak kecantikan pada jelaga pekat alis matanya. Juga jelita bulu
matanya yang melindungi mata belonya. Dan senyumnya yang selalu tulus. Dan
kehangatan yang menjalari tubuhku ketika kami kemudian berpelukan erat. Entah
siapa yang mendului. Tahu-tahu kami sudah berpadu peluk sementara prenjak
jantan dan betina berloncatan pada dahan-dahan bougenvile sambil bersuara
bersisahutan begitu riangnya.
Kehadiran
Mei, panggilan sayangku puluhan tahun lalu untuknya, tentu saja mengubah
hari-hari panjangku di panti ini. Dan kini, di hari ulang tahunnya yang ke-66,
telah kusiapkan sebuah cincin perak dengan motif burung hantu buatan Korea --sebuah
hadiah yang tidak mahal namun kuyakinkan diriku bahwa Meita akan sangat
menyukainya-- karena aku amat kesemsem pada matanya yang belo namun
dengan sorot yang sangat bersahabat dan teduh. Selalu meletup-letup gairahku
tatkala berpilin kata dengan Meita bermenit-menit dan berjam-jam sembari duduk
di pelataran panti yang diteduhkan rerimbun ketapang dan johar serta alamanda
cokelat yang tengah mekar tertebar di berbagai sudut. Mata Meita yang selalu menyala
gairah ketika dia menyimak kalimat-kalimat yang meluncur dari bibirku,
membuatku seolah tak pernah kehabisan kata untuk membaginya cerita-cerita masa
mudaku setelah kami berpisah. Sesekali Meita terkekeh seperti ingin memamerkan
deretan giginya yang masih lengkap dan nampak sangat terawat. Kadang dia
menertawakan cerita lucu yang kupaparkan, sesekali juga ironi kehidupan yang
kujalani. Di usia senja kini, tak ada lagi ironi yang perlu disesali. Segala
kepahitan hidup menjadi penggal-penggal sejarah yang justru terasa manis untuk
dikenang dan diceritakan berulang-ulang tanpa sedikit pun rasa bosan.
Bagi kami, para manula yang
terdampar di Panti Berbagi Kasih ini, Meita laksana mawar yang senantiasa
menebar wewanginya. Dan hari ini, di ulang tahunnya yang ke-66, Meita sepakat
untuk meresmikan hubungan kami sebagaimana layaknya anak-anak muda meresmikan
hubungan mereka sebagai sepasang kekasih. Hubungan yang puluhan lalu terputus
seperti curah hujan yang tiba-tiba berhenti.
Tentu saja warna-warni bunga
bermekaran dalam dadaku. Senyum yang kutebar pada hari-hari menjelang hari penasbihan
itu sungguh membuat enam sahabatku, para manula laki-laki, beriri hati. Lalu,
melayanglah anganku pada masa puluhan tahun lampau, ketika pesta pertunanganku
dengan Zuraida, istri yang sudah meninggalkanku untuk selamanya sejak tujuh
tahun lampau. Suasananya tentulah sangat jauh berbeda karena aku masih jejaka
dan gairah mudaku masih menyala-nyala bagai magma yang siap meledakkan lahar
cintanya. Dan, Zuraida menerima cintaku dalam satu kesatuan kasih yang utuh
sampai kemudian kami menikah dan berketurunan. Lahirlah Windoro, anak
laki-lakiku yang amat cerdas. Lahirlah Windari, anak perempuanku yang tak kalah
cerdas dari kakaknya. Perjalanan waktu yang kemudian membawa Windoro menikah dengan
Britany, seorang gadis asal Bogota yang dikenalnya di kampus UCLA dan keduanya
menikah dalam sebuah pesta yang unik di antara bahana air terjun yang sangat
indah di State Park Air Terjun Niagara di Ontario. Setelah pernikahan itu, Win
anakku bilang Brit memintanya menetap di sebuah apartemen yang mereka sewa di
Antelop Valley di Greater Los Angeles. Hingga kini.
Windari yang memilih kuliah
psikologi di Murdoch University di Perth, kemudian juga memilih tak kembali ke
pangkuan kami setelah dia menikah dengan Lachlan. Dan kami harus merelakan dua
buah hati yang kami besarkan dengan guyuran cinta itu pada akhirnya
meninggalkan kami satu per satu. Tak ada yang perlu diratapi. Hidup selalu
disarati kejutan-kejutan perubahan yang bisa sangat tak terduga dan tak kami
harapkan. Termasuk juga ketika akhirnya aku memilih mendamparkan diriku di
panti kini, bersama orang-orang seusiaku. Brit sempat memaksaku tinggal bersama
mereka di Amerika. Lachlan juga sangat membuka pintunya bagi kehadiran tubuh
rentaku setelah Zuraida wafat. Namun aku lebih suka tak membiarkan diriku
menjadi beban anak-anakku, menantu-menantuku, atau cucu-cucuku. Biarlah Windoro
bahagia bersama keluarganya tanpa harus mengurus diriku yang kian renta.
Biarlah Windari bermandi senyum dan kebahagiaan bersama keluarganya di Perth
tanpa harus pusing dengan keberadaanku. Cukuplah bagiku sesekali menjenguk
mereka seperti kulakukan tahun lalu seraya Windari dan keluarganya membawaku
menikmati kepak dan canda angsa hitam di Danau Monger setelah kami menikmati
perjalanan sekitar satu jam menuju Fremantle. Sangat kunikmati saat-saat aku
bersama kedua cucuku melempar remah-remah roti dan angsa hitam itu berebutan
dengan burung-burung lain untuk mendapatkannya.
“Itu pilihan papa dan papa
takkan menyesali atau menyalahkan kalian,” aku berkata ketika itu. “Kalian
berhak menikmati kehidupan kalian sendiri dan membangun rumah tangga yang
bahagia. Jika kalian merindukan aku, jika cucu-cucuku ingin bertemu, kalian
bisa datang kapan saja.”
Sesekali mereka datang
menjenguk aku. Bahagia selalu mengaliri darahku ketika punggung tanganku dicium
Windoro dan istrinya, atau Windari dan suaminya, atau cucu-cucuku. Dan kali
ini, untuk pesta ulang tahun pacarku, kukabarkan juga kepada mereka agar mereka
tahu di panti ini ayah mereka kembali menemukan cinta seorang perempuan. “Jika
berjodoh, kemungkinan kami akan menikah,” kutambahkan kalimat itu pada e-mail
yang kukirimkan kepada mereka. “Kami ikut bahagia jika Papa juga bahagia dan
yakin itu yang terbaik,” balas mereka. Sayangnya mereka menyebut tak mungkin
bisa datang karena kesibukan masing-masing.
Tentu saja aku orang pertama
yang hadir di aula panti yang sejak kemarin sudah disulap menjadi tempat yang
amat indah dengan nuansa lavender, warna yang mencerminkan keanggunan dan
sangat disukai Mei. Ada keharuan yang mengobrak-abrik dadaku menyadari Mei,
melalui pilihan warna nuansa pestanya, seperti ingin mengungkapkan bahwa cinta
yang pernah tumbuh di antara kami adalah cinta sejak mata kami saling
bersirobok. Dan cinta itu hingga kini belumlah lekang. Masih menguarkan aroma
wewanginya. Waktu, seberapa pun lamanya, tak berdaya meruapkan jentik-jentik
cinta kami. Hanya dibutuhkan sedikit saja sentuhan untuk membuatnya bangkit.
“Sahabat-sahabatku
terkasih,” Meita berdiri anggun di atas panggung dengan gaun senada warna
keseluruhan nuansa pesta. Kukagumi bibirnya yang diberi warna nude ketika dia
mengulas senyum seraya menebar pandang kepada seluruh tetamunya sebelum dia
melanjutkan kalimatnya. “Ini hari yang sangat membahagiakan saya. Di pesta
sederhana ulang tahun saya yang ke-66 ini, saya berada di tengah-tengah orang
yang saya yakini memiliki ketulusan untuk saling berbagi dan menyayangi. Saya
juga teramat bahagia karena di ruang ini, ada...” Mei menggantung kalimatnya.
Dan aku menggeleng-gelengkan kepala untuk kenakalannya itu.
“Sahabat-sahabat saya pasti
tahu siapa dia...” Mei melanjutkan kalimatnya seraya tatap mata belonya
mengarah kepadaku. Ada tepuk tangan. Ada suit-suit. Ada dehem. Ada gumam.
Semuanya menjadi satu.
“Ya, dialah Mas Erwan, Mas
Erwanku yang tetap gagah,” Mei mengarahkan uluran tangannya kepadaku, seperti
menarikku untuk melangkah ke atas panggung.
Aku pun melangkah, perlahan
namun mantap. Di tangan kiriku telah kusiapkan sebuah cincin perak bermotif
burung hantu yang kuyakini akan disukai Mei.
Kupeluk kekasihku di atas
panggung. Kukecup kedua pipinya dan dahinya tanpa peduli pada bahana sorak-sorai
para tetamu. Lalu, kuberikan cincin perak itu, memakaikannya di jari manis
tangan kirinya. Suka cita memancar dari wajahnya bersama leler air bening dari
dua kelopak matanya yang belo.
“Tak ada yang berubah ya,”
Mei mendesah.
“Ya, kecuali usia dan kerentaan
kita. Tapi cinta kita tak pernah renta,” katanya.
Mei seperti menahan ledakan
tangis dan lahar air matanya. Dia memelukku begitu erat sampai kemudian
kusadari Windoro dan Windari bersama istri dan suami dan anak-anak mereka
berada di sekelilingku, sampai kudapati diriku berada dalam kungkung anak-anak
dan cucu-cucu Mei. Semuanya menyatu dalam tepuk tangan riuh. Windoro dan
Windari datang tanpa memberi tahu untuk memberi kejutan kepadaku sekaligus
menggenapi bahagiaku.
Untuk kesekian kalinya, kupeluk
begitu erat Mei. Ah, cinta memang bukan cuma hak miliki anak muda. Dia bisa
bersemi dan terus memekarkan sayap-sayap kasihnya di mana saja serta kapan saja.
Tanah
Kusir, September 2010
0 komentar:
Post a Comment