Wahid
menikmati usia senjanya di desa. Dalam sungkup dingin udara pegunungan seraya
menghitung titimangsa dari hari ke hari. Saban hari dia membuka kelopak matanya
pada saat orang lain terasyik dalam buai lelap dengan mimpi masing-masing.
Saban pagi dia menjejakkan kaki-kaki rapuhnya pada tetanahan dan rerumputan serta
lelumutan di seputar rumahnya yang sederhana. Memandangi manik-manik embun di
dedaunan jaran, secang, dan ketapang serta rerumputan teki. Menikmati kicau
cerokcokan di mangar-mangar dan dahan-dahan kelapa, lalu melompat pada perdah-perdah
ketapang, lalu berkejaran satu sama lain.
Dan ketika mentari menyapa alam
dengan sinarnya yang merah dari ufuk timur, Wahid pun duduk manis pada kursi
terbuat dari anyaman bambu bikinan anak-anaknya. Di sana dia menghitung keriput
kulitnya sembari menunggu cucu-cucunya datang menghadapnya. Mencium tangannya
yang dingin sebelum meninggalkannya untuk berangkat ke sekolah atau bermain.
Sesudah itu, ketika matahari perkasa mendaki bebukitan di ujung persawahan
dengan pepadian yang siap berbuah, Wahid memasuki kamarnya. Kembali bersujud
dan melinangkan air mata. Setelah itu dia keluar dari kamarnya bersama bebauan
kopi bikinan istrinya membelai lubang hidungnya.
“Kau sudah melupakannya, bukan?”
Mutmainah istrinya sesekali mengajukan pertanyaan yang sama setelah dia
menyelesaikan ritual paginya. Seperti juga pagi ini.
Wahid menyunggingkan senyum pada bibirnya, sembari menatap birunya
langit dan bangau-bangau berjingkat-jingkat di antara pepadian di sawah.
“Aku bukanlah pendendam,” katanya.
“Tapi hatimu sakit,” kilah Mainah.
“Aku bukanlah pendendam,” ia mengulang jawabannya.
Mainah tersenyum di bibirnya, namun tersedu di hatinya. Laki-laki
yang dibanggakannya ini masih saja bergupak dalam kubang duka. Masih saja
tersekat dalam semak luka. Tanpa bisa melepaskan diri. Padahal peristiwa itu
terjadi puluhan tahun lampau ketika dia masih duduk sebagai orang kedua dalam
jajaran sebuah kementerian di ibukota.
Awalnya, Wahid menerima kedatangan dua orang tamu penting setelah dia
menyelesaikan salat zuhurnya. Tamu itu terdiri atas seorang lelaki dan seorang
perempuan. Penting karena keduanya memang orang penting dalam jajaran partai
yang juga diusung atasannya. Kedua orang itu membawa sebuah amplop besar yang
dia sendiri belum tahu apa isinya. Wahid baru benar-benar mengetahui isinya setelah
tiga orang petugas dari sebuah komisi yang bertugas membasmi korupsi menyusul di
belakang kedua tamu pentingnya. Ketiga petugas itu membuktikan bahwa Wahid
nyata-nyata menerima suap untuk proyek pembangunan gedung olahraga. Dalam
amplop besar itu tersusun dengan rapi sebuah cek bernilai miliaran rupiah, ditambah
lagi berupa mata uang dolar Amerika, dolar Australia, dan puluhan juta rupiah.
Wahid tergugu bersama leleran keringat yang mengalir deras di
dahinya. Dia tak bisa membantah. Dia juga tak bisa mengelak ketika empat
anggota kepolisian membawanya keluar dari ruangannya yang sejuk di kantornya
bersama seluruh isi barang bukti di atas mejanya.
Hingga waktu asar datang, Wahid masih mendekam dalam tahanan
kepolisian. Seorang polisi mengawalnya ketika dia melangkah ke masjid kantor
polisi untuk menunaikan salat.
“Ehm, selama ini ke mana saja, Pak?” Wahid mendengar seseorang dengan
kamera menggantung di lehernya menyapa. Nadanya begitu mengejek. Dia menoleh.
“Kok baru sekarang sembahyangnya? Sudah berapa tahun tidak pernah sembahyang,
Pak? Selama ini sibuk dengan proyek-proyek, Pak, sehingga tak sempat
sembahyang?”
Wahid serta-merta lunglai. Di kursinya ia terduduk lemah dengan
kepala tertunduk. Air matanya berleleran tanpa bisa dicegah. Kalimat itu
benar-benar bagai godam yang memalu-malu seluruh kekuatannya. Kalimat itu bagai
menyembilu hatinya menjadi irisan-irisan pipih yang menyakitkan.
Seingatnya, Wahid tak pernah menerima uang melebihi gaji bulanannya.
Seingatnya, ia menggunakan mobil sedan mewah milik kantornya hanya untuk
keperluan-keperluan dinas. Seingatnya, dia selalu pergi ke kantor dan pulang ke
rumahnya hanya dengan mobil van sederhana miliknya. Seingatnya, dia hanya
memiliki sebuah rumah sederhana di kawasan pinggiran kota. Seingatnya,
anak-anaknya tetap berada di desa, menempati rumah keluarga warisan kedua orang
tuanya. Seingatnya, dia tak pernah berkeinginan mengalirkan darah-darah haram
dalam tubuhnya, istrinya, dan anak-anaknya. Seingatnya, dia juga hanya memiliki
sebuah rekening tempat dia menyimpan dan mengambil gaji bulanannya. Seingatnya,
dia juga tak pernah meninggalkan salat bahkan satu kali pun. Tapi, mengapa
Tuhan tiba-tiba mengutus seseorang untuk menghujatnya sedemikian rupa? Apakah
Tuhan tengah tertidur?
“Itu ujian, Pak. Itu ujian, Pak,” Mainah mengingatkan suaminya.
Kalimat yang sama juga diucapkannya setelah suaminya menjalani hukuman, setelah
Wahid kehilangan jabatannya, setelah dia kehilangan kehormatannya, harga
dirinya, kebanggaannya, segalanya.
“Bapak tidak pernah sendirian. Ada begitu banyak orang yang
bersimpati, meskipun mereka cuma bisa terdiam. Bapak juga masih memiliki aku,
memiliki anak-anak, memiliki cucu, yang tetap membanggakan Bapak. Kami yang
mengetahui Bapak luar dan dalam,” kata Mainah ketika membawa pulang suaminya ke
kampung halaman mereka di sebuah desa terpencil di kaki sebuah gunung. Di mana
kunang-kunang masih bisa dijumpai, dan manik-manik embun pagi masih setia
menemani. “Yang penting Bapak tidak pernah berhenti mensyukuri segala nikmat Tuhan. Harta dunia tak berarti apa-apa
bagi kami, Pak. Kami ikhlas mengikuti jalan yang bapak pilih. Bapak imam dalam
keluarga kita.”
Namun, hingga puluhan tahun kemudian, kalimat-kalimat yang diucapkan
seseorang dengan kamera menggantung di lehernya itu tak benar-benar bisa pupus
dari benak Wahid. Sesekali muncul begitu saja membuat Wahid kerap kembali
tersuruk dan tersungkur dalam duka.
*
Ganjar, laki-laki itu, melangkah mendaki dalam sengal-sengal
napasnya. Tekadnya sudah bulat, meminta
maaf kepada seseorang bernama Wahid yang tinggal di sebuah desa terpencil di
kaki gunung. Bergunung rasa sesal dibawanya serta. Dia benar-benar menyesali
ucapannya beberapa tahun lalu. Masih terngiang kata-kata yang diucapkannya
kepada Wahid. “Ehm, selama ini ke mana saja, Pak? Kok baru sekarang
sembahyangnya? Sudah berapa tahun tidak pernah sembahyang, Pak? Selama ini
sibuk dengan proyek-proyek, Pak, sehingga tak sempat sembahyang?”
Setiap kali melangkah, Ganjar berharap bisa bertemu Wahid. Dia
berharap pria itu masih hidup dan memberinya sepotong kata maaf. Ganjar tak
ingin Wahid pergi membawa dosa-dosa dirinya setelah dia diperanjatkan oleh
sebuah berita di semua koran ibukota beberapa waktu lalu: Wahid Dinyatakan Tak
Terbukti Bersalah.
Alangkah lancangnya aku telah menuduh pasti bersalah seseorang yang
sebenarnya aku sama sekali tak tahu menahu, Ganjar membatin. Benar hampir semua
pejabat di negeri ini terlibat dalam korupsi, kolusi, dan nepotisme. Namun,
hampir semua tidaklah berarti semuanya. Ada satu dua pengecualian. Dan Wahid
salah satu pengecualian itu, sedangkan Ganjar telah menyamaratakan semuanya.
Di sebuah tebing, Ganjar yang letih dan sedih terduduk pada sebuah
batu berbalut lumut. Menunduk. Meleleh air matanya bila mengingat
kelancangannya. Dalam dekap lelap dan semilir angin yang membuat dedaunan
menari, Ganjar bermimpi bertemu Wahid. Laki-laki renta itu memberinya sebuah
pelukan lembut dan baris-baris kata maaf yang melegakan dadanya. “Aku bukanlah
pendendam,” kata Wahid.
Ganjar menyungging senyum.
*
Di sebuah pagi berkabut susu, Wahid tiba-tiba merindukan pria itu,
laki-laki dengan kamera menggantung di lehernya. Masih ingatkah dia pada
kalimat penuh duri yang keluar begitu saja dari rerongga mulutnya? Tahukah dia
betapa kalimat itu telah menggodam dan menyayat hati dan perasaannya menjadi
serpih-serpih kecil? Di manakah pria itu kini?
“Pak....Pak...” seseorang menghampiri Wahid dalam gegas dan wajah dipenuhi
butir keringat.
“Ada apa, Dani?” Wahid memandang pemuda bernama Dani itu.
“Kami...kami menemukan mayat di tebing sana!” Dani menunjuk ke sebuah
arah. “Seseorang dengan kamera model lama di lehernya. Apakah dia tamu bapak?”
Wahid mengulas senyum. “Aku bukan polisi, Dani. Mengapa kamu tidak
melapor ke kantor polisi saja?”
“Maksud saya...mungkin bapak kenal...”
“Mungkin aku kenal, mungkin juga tidak. Tapi, yang pasti, aku tidak
punya janji bertemu kepada siapa pun hari kini, dalam sepekan kemarin, atau
sepekan kemudian. Jadi, kamu laporkan saja ke kantor polisi,” kata Wahid.
Dani meluncur menuruni tebing. Wahid memandangi punggung pemuda itu
sampai menghilang di balik tebing berikutnya. Dia lalu kembali ke kamarnya,
menyanjung kebesaran Tuhan.
Dalam doa dia berucap, “Aku bukanlah pendendam, Tuhan.” Jakarta, Mei 2011
0 komentar:
Post a Comment