Showing posts with label Cerita Pendek. Show all posts
Showing posts with label Cerita Pendek. Show all posts

Tuesday, May 30, 2017


Cerpen Aba Mardjani

DI Dusun Cibaresah nama Badrun kondang bukan karena ia orang terpandang. Ia dikenal sebagai laki-laki paruh baya yang ke mana-mana kedua bibirnya selalu berkomat-kamit melafazkan salawat nabi. Allaahumma sholli ‘ala sayyidinaa Muhammad wa’alaa aalihii waashabihii ajma’iin...

Tak ada yang tahu sejak kapan Badrun selalu bersalawat seperti itu. Di tengah-tengah kebun, ketika tengah mencangkul untuk menanam pohon-pohon singkong, ia bersalawat. Di jalan, ketika pergi ke suatu tempat untuk suatu keperluan, ia bersalawat dengan kepala lebih banyak tertunduk. Pada keramaian, ketika mengunjungi pesta perkawinan kerabat, tetangga, atau sahabat, ia lebih suka bersalawat dibandingkan mengobrol dengan orang-orang di sekitarnya. Karena itu, juga tak ada yang tahu berapa jumlah salawat yang meluncur dari mulutnya setiap hari. Badrun pun tak pernah menghitung.

“Saya tidak tahu cara menghitung berapa kali saya bersalawat karena jumlahnya juga tidak penting, yang penting ikhlasnya,” katanya apabila ada yang bertanya.

Badrun dan istrinya tinggal tak jauh dari sebuah mesjid tua di sudut dusun. Tiga anaknya tak lagi tinggal bersamanya sejak menikah dan berumah tangga. Rumahnya terlalu kecil untuk ditempati lebih banyak dari dua orang karena hanya terdapat satu kamar tidur, satu ruang tamu, dan satu kamar mandi. Tak ada ruang khusus untuk salat.

Setiap hari dan setiap waktu Badrun melaksanakan salat di mesjid. Ia selalu datang sebelum seseorang selesai melantunkan azan. Ia sendiri tak pernah melantunkan azan karena ia mengaku suaranya tak bagus. Ia juga tak pernah mau jika diminta menjadi imam karena ia bilang tak hafal surah-surah yang harus dibaca.

Setiap hari Jumat, Badrun mendatangi masjid jauh lebih awal untuk salat Jumat. Ia sudah berada di sudut kanan masjid sebelum siapa pun datang. Setelah melaksanakan salat sunah tahiyatul masjid, Badrun pun seperti biasa tertunduk serupa patung dengan mulut tak pernah henti bersalawat. Ia baru berhenti ketika seseorang melakukan azan, lalu melaksanakan salat sunah qobliyah Jumat dua rakaat dan kembali tertunduk melafazkan salawat. Lalu berhenti lagi pada azan kedua dan menyimak khutbah Jumat.

Namun, ada yang berbeda pada Jumat kali ini. Para pengurus masjid tanpa sepengetahuan Badrun yang asyik dengan salawatnya, tengah kebingungan karena imam dan khatib Jumat tak satu pun hadir sementara waktu untuk salat Jumat tinggal hitungan menit. Ustadz Salman, ketua masjid yang biasanya jadi pengganti imam dan khatib yang berhalangan hadir pun tak ada di tempat. Ustadz Salman kabarnya tengah sakit dan tak bisa meninggalkan tempat tidurnya.

“Siapa mau menggantikan jadi imam dan khatib,” Abdul Razak, merbot mesjid bertanya kepada Saleh, sekretaris masjid. Saleh menggeleng. “Pak Saleh saja,” lanjut Abdul Razak.

“Tidak...tidak...jangan saya,” kata Saleh tergeragap.

“Lalu siapa?”

Abdul Razak dan Saleh mengedarkan pandang kepada para jamaah yang sudah berada di dalam masjid. Berharap menemukan sosok yang kemungkinan layak menjadi badal khatib dan imam sekaligus. Namun keduanya hanya menemukan orang-orang yang sama yang setiap Jumat datang untuk salat sebagai makmum. Tak ada yang nampak layak didudukkan di mimbar.

“Kalau begitu...” kata Abdul Razak putus asa.

“Jangan...jangan saya...” Saleh memandang Abdul Razak dengan wajah memelas.

“Maksud saya....Badrun saja.”

Keduanya kemudian memandang Badrun yang duduk sudut kanan masjid dengan wajah tertunduk dan mulut terus berkomat-kamit melafazkan salawat.

“Saya setuju. Ya, Badrun saja,” wajah Saleh nampak semringah.

Keduanya pun melangkah mendekati Badrun. Saleh berada di sebelah kiri Badrun dan Abdul Razak berjongkok di sebelah kanan. Keduanya berbisik di telinga Badrun.

“Badrun, tolonglah. Kamu sekali ini jadi badal khatib dan imam. Pengganti imam dan khatib yang hari ini tidak juga kelihatan. Waktu salat hampir tiba. Tiga menit lagi,” bisik Saleh.

“Badrun, kamu kelihatan cocok. Kamu alim orangnya. Tidak neko-neko. Setiap saat bersalawat. Buktikan sekali ini saja bahwa kamu memang layak jadi imam dan khatib Jumat,” Abdul Razak menambahkan.

Sesaat kemudian terdengar azan pertama didengungkan. Keduanya duduk di kiri dan kanan Badrun hingga azan selesai.

Badrun gemetar. “Tidak. Tidak. Aku tak bisa apa-apa. Aku tak tahu apa-apa,” Badrun mengelak.

“Kamu pasti bisa, Drun. Kamu pasti bisa.”

“Tidak.”

Namun, Badrun tak bisa mengelak ketika Abdul Razak dan Saleh sepakat memegang bahu kanan dan kiri Badrun seraya membawanya ke mimbar Jumat begitu azan pertama selesai. Sesaat setelah berdiri di atas mimbar, Badrun masih nampak kebingungan.

“Ucapkan salam, Drun. Salam,” kata Saleh.

Badrun yang kebingungan makin gemetar ketika melihat semua mata jamaah Jumat memandangnya. Tanpa pikir panjang, ia kemudian mengucapkan salam. Suaranya gemetar. Tertahan di tenggorokannya.

Bilal pun berdiri seraya melantangkan azan kedua. Badrun duduk di atas mimbar. Seperti patung. Untuk kali pertama orang melihat mulut Badrun tak berkomat-kamit.

Badrun memang tak tahu harus berbuat apa. Ia tak bisa apa-apa. Kalau pun harus berkhotbah, Badrun tak tahu harus membahas masalah apa. Ia tak hafal ayat-ayat Al-Quran sebagai pembuka khutbah. Ia tak hafal hadits-hadits yang biasa dibawakan para khatib saat berkhotbah. Ia berharap bilal tak segera selesai melantunkan azannya. Untuk kali pertama ia menyadari, sangat tak mudah menjadi khatib.

Badrun masih mematung ketika bilal menyelesaikan azan.

Saleh dan Abdul Razak yang duduk persis di depannya bersuit kecil untuk meminta Badrun segera memulai khotbahnya. Badrun tak menoleh. Tetap menunduk. Ia tak punya keberanian berdiri dan menyadari begitu banyak pasang mata yang akan memandangnya.

“Badrun. Ayo cepat khotbahnya,” Saleh akhirnya buka suara.

Ketika akhirnya Badrun berdiri, Saleh dan Abdul Razak pun merasa lega. Namun, keduanya benar-benar terkejut ketika Badrun mengangkat kain sarung yang dikenakannya tinggi-tinggi lalu tergopoh-gopoh melompat turun dari atas mimbar. Tak cuma itu, Badrun juga dengan terburu-buru keluar dari masjid.

“Hei, Badrun! Mau ke mana kamu?” Saleh berteriak. Tangannya gagal menghentikan langkah Badrun. Ia terpaksa mengikuti Badrun untuk mencegahnya keluar. Abdul Razak membuntuti.

Jamaah salat Jumat lain keheranan melihat ulah Badrun. Namun, seperti mendapat komando entah dari mana dan dari siapa, mereka pun mengejar Badrun yang dengan segera sudah berada di luar masjid. Badrun makin cepat berlari. Para Jamaah juga berlari mengikuti Badrun dari belakang. Masjid tua dan ringkih itu pun kosong. Tak seorang pun tersisa.

Beberapa saat kemudian, semua jamaah masjid benar-benar terkejut mendengar suara berdebum keras dan berderak-derak di belakang mereka. Ketika semua menoleh, mereka mendapatkan masjid sudah roboh, serata tanah.

“Masjid roboh...masjid roboh....” teriak mereka serempak.

“Masya Allah. Bayangkan jika kita tidak keluar mengikuti si Badrun.”

“Ya, bayangkan.”

“Kita semua sudah jadi mayat.”

“Tubuh kita tertimbun.”

“Innalillahi wainna ilaihi roojiuun...”

“Alhamdulillah. Kita selamat berkat si Badrun.”

“Ya, karena Badrun. Mana Badrun? Mana Badrun?”

Mereka mencari-cari Badrun. Namun yang dicari sudah tak kelihatan batang hidungnya. Badrun bersembunyi di kamar rumahnya. Ketakutan. Gemetar. Ia benar-benar tak ingin orang datang ke rumahnya dan memaksanya kembali ke masjid untuk melanjutkan tugasnya sebagai khatib.

“Bilang aku tak ada di rumah jika ada yang mencari aku,” katanya kepada istrinya.

Tanah Kusir, Juni 2016

Pengirim:

Friday, October 9, 2015

NAMANYA nenek-nenek, jadi sering panikan. Begitu cucunya, Alida, belum juga pulang dari sekolah, Nenek Aminah kalang kabut sembari menjambak-jambak rambut.

Wednesday, December 21, 2011


Cerpen: ABA MARDJANI


Laku Sandra tiba-tiba saja jadi begitu memualkan. Mendadak dia menyusupkan wajah. Pelukan dan cengkeram kuku-kuku pada jari-jari tangan mungilnya menembus gaunku membuat aku hampir tidak dapat melangkah begitu kami keluar dari mobil dan aku siap berbelanja di sebuah pasar tradisional.

            “Ada apa, Ndra?” aku bertanya, menahan riak-riak galau di dada. “Kamu takut apa?”
            Gadis itu bungkam. Tetap menyembunyikan wajah serupa cacing kena papar sinar matahari. Kedua tangannya masih membelenggu langkahku. Aku coba berjongkok dan susah payah mengangkat wajahnya. Terpejam erat matanya setelah sesaat mencoba membuka. Aku terpaksa mendekapnya dan merasakan degup kencang dadanya. Beberapa saat berdiri dan sejumlah orang mulai memerhatikanku, aku membawa gadisku yang baru berusia delapan tahun itu melangkah memasuki pasar.
            Di dalam pasar, ancaman dan bujukan sama tak mempan. Sandra mengerut ketakutan. Beberapa saat kemudian menangis dan minta dibawa pulang. Aku tak memberiku pilihan lain.
            Di dalam mobil, belai pendingin udara tak langsung menghapus bintik-bintik keringatnya. Kini, aku jadi ketakutan.
            “Kita ke dokter kalau kamu sakit,” kucoba menenangkan dia seraya membelai rambutnya sambil mataku terus mengawasi jalan di hadapanku. “Kamu sakit, sayang?”
            Sandra menggeleng perlahan. Pekat iris matanya menatapku. Kuraba dadanya. Pelan-pelan dia mulai nampak tenang.
            “Kamu tidak sakit?” aku merasa lebih tenang. Kubatalkan niat menghubungi suamiku yang sesaat muncul. Aku tak ingin mengganggunya untuk urusan yang sebenarnya bisa kuatasi sendiri. “Tapi, mengapa tadi kamu seperti ketakutan?”
            Aku menginjak pedal gas lebih dalam begitu ruang di depanku longgar. Kuhela napas dan membuangnya sekaligus untuk mengusir remah-remah galau di dadaku. “Okelah kalau Ndra belum mau menjawab. Nggak apa-apa,” aku melanjutkan, membiarkan Sandra asyik dengan dirinya sendiri. “Mungkin nanti di rumah Ndra bisa ngomong.”
            Inah tergopoh muncul begitu aku memasukkan mobil ke dalam garasi. “Kok cepat sekali, Bu?” dia bertanya sambil menarik Sandra keluar dari dalam mobil.
            Nggak jadi belanjanya, Inah.”
            “Memangnya kenapa, Bu? Macet ya? Pasarnya tutup? Atau uang ibu ketinggalan?”
Aku cuma memberinya senyuman untuk berondongan pertanyaannya. “Nanti kita beli makanan jadi saja, Inah,” kataku kemudian setelah mendorong pintu mobil dan melangkah ke dalam rumah.

***

Pengakuan Sandra membuat mataku terbeliak.
“Bunda,” ia berkata, mengawalinya agak takut-takut. “Aku tadi melihat ular. Ada yang besar sekali, ada yang kecil...”
“Di pasar tadi?” aku memenggal ceritanya. Gadisku mengangguk pelan. “Mana mungkin di pasar ada ular, Ndra? Kamu....”
“Betul, Bunda,” Sandra kini yang mencegat ucapanku.
“Pasar itu tempat orang berdagang, anakku,” kubelai lagi rambutnya. “Ada yang jual sayur-mayur, kebutuhan rumah tangga, jual perhiasan, peralatan sekolah, pakaian, mainan...”
“Aku juga tahu, Bunda,” Sandra kembali memutus kalimatku, “tapi....”
“Apa?” kucoba menekan suaraku agar tak terdengar sebagai orang yang tak sabaran dan aku memang siap mendengar lanjutan ceritanya.
“Di sana aku melihat banyak sekali binatang, Bunda. Bukan cuma ular....”
“Apa?”
“Selain ular ada juga babi, anjing, kera, kambing, banyak sekali, Bunda. Hampir di mana-mana. Aku juga melihat orang-orang kecil dengan kepala besar. Aku takut sekali, Bunda.”
Aku memberinya senyuman. Bagaimanapun aku tak ingin membantahnya, meskipun bagiku hal itu sangat tidak masuk akal.
“Lalu, apa yang dilakukan binatang-binatang itu, Ndra?” aku malah jadi penasaran.
“Mmm, sama seperti penjual lainnya, Bunda. Binatang-binatang itu juga berdiri di dekat barang-barang yang ada di depannya.”
Susah payah aku menahan tawa. “Binatang-binatang itu juga berjualan maksudmu?”
Putriku mengangguk. “Bunda percaya?”
Kuhela napas. Kupermainkan mata. “Bagaimana ya? Apa Bundamu harus percaya?”
“Ya terserah Bunda saja.”
“Tapi, Ndra masih berani kalau misalnya hari Minggu depan kita ke pasar lagi?”
Anakku menggeleng.
“Kalau begitu, bagaimana mungkin Bunda mau percaya? Bagaimana kalau hari Minggu depan kita ke pasar lagi, lalu Ndra tunjukkan kepada Mama yang mana ularnya, keranya, babinya....” kugantung kalimatku untuk menanti reaksinya.
Sandra nampak menimbang-nimbang.
“Bagaimana ya?” ia seolah bertanya kepada dirinya sendiri.
“Binatang-binatang itu tidak garang, bukan? Mereka kan tidak menggigit kamu, tidak...”
“Ya, tidak, Bunda.”
“Kalau begitu, hari Minggu depan kita ke pasar lagi. Setuju?”
Putriku mengangguk berat.

***

Meskipun disaput rasa khawatir, hari Minggu berikutnya kubawa Sandra kembali ke pasar. Kusyukuri kali ini dia benar-benar tak lagi memperlihatkan rasa takutnya yang luar biasa seperti pekan sebelumnya. Sesekali dia berjingkrak terkejut ketika seorang pedagang tiba-tiba menegurnya, mengajaknya bersalaman, atau menjawil pipinya.
“Kenapa kamu?” aku bertanya ketika dia berlari dan kemudian seperti coba menyembunyikan dirinya sesudah seorang pedagang menjawil pipi. Dia tak menjawab.
Sekali waktu, Sandra juga nampak begitu akrab dengan salah seorang pedagang membuat aku justru merasa khawatir dan memberinya isyarat dengan mataku agar dia menjauh. Pada pedagang berikutnya, dia juga nampak asyik berada di belakang membuat si pedang sendiri merasa risih. Namun, pada kali berikutnya, Sandra juga tak berani mendekat sambil terus menekan hidungnya dan membiarkan aku berhadapan sendirian dengan si pedagang. Karena itu, sambil terus berbelanja, dadaku dipenuhi berbagai pertanyaan. Apa saja sebenarnya yang sedang dilihat putriku? Apakah di pasar ini berkeliaran hewan-hewan seperti yang dikatakannya?
Aku mengajak Sandra pulang setelah kedua tanganku dipenuhi barang-barang kebutuhan dapur.
“Akhirnya...” Sandra mengempaskan tubuhnya di kursi mobil di sebelahku. Seolah beban berat yang mengimpitnya tiba-tiba saja sirna.
“Kok akhirnya?” aku bertanya sambil menarik sabuk pengaman. “Pakai sabuk pengamanmu, Nak.”
“Akhirnya aku bebas, Bunda,” katanya. Tangannya menjemba tisu dan menggosok-gosokkannya pada dahinya.
“Bebas dari apa? Apakah kamu masih melihat banyak binatang?” aku penasaran.
Sandra mengangguk.
“Tadi aku kaget sekali, Bunda, waktu pipiku dijawil sama...”
“Sama...”
“Itu tadi kera, Bunda. Aku takut kuku-kukunya melukai pipiku.”
Aku ingin tertawa. Setelah berdiam sesaat, kuajukan lagi pertanyaan, “kalau yang satu tadi, yang kamu kelihatannya sangat akrab?”
Sandra nampak agak kemalu-maluan.
“Kok senyam-senyum begitu?” aku jadi penasaran karena dia tak segera menjawab.
“Kalau yang itu anjing, Bunda. Aku kan suka sama anjing. Dan dia baik sekali,” Sandra akhirnya menjawab.
Tawaku hampir pecah.
“Nah, kalau yang kamu terus berada di belakangnya? Itu apa?”
“Mmm, kalau yang itu ular besar yang baik, Bunda. Aku sering melihat di televisi ular besar yang jadi mainan. Jadi, aku tidak takut.”
Tawaku benar-benar meledak. Kegelianku membuncak, menumpuk. Susah payah kutahan. Aku tak ingin di matanya seperti orang yang meremehkannya dan menganggapnya tengah membual.
“Lalu, tadi Bunda lihat juga kamu menjauhi seorang pedagang sambil menutup hidungmu. Nah, yang itu apa?”
Sandra mempermainkan kedua belah bibirnya. “Itu....itu...babi hutan, Bunda. Dia mendengus-dengus. Busuk sekali baunya....”
Akhirnya tawaku pecah berderai. Ketika kuhentikan buncak kegelianku saat berikutnya, kudapatkan Sandra tengah cemberut. Dia lalu menyambar telepon genggamku dan menghubungi ayahnya.
“Ayah sedang apa?” dia bertanya. Sesaat kemudian dia mengoceh lagi. Mengulangi cerita yang baru saja dia katakan kepadaku. Sesekali dia terdiam. Sesekali dia cemberut. Sesekali nampak marah.
“Ah, ayah payah,” katanya ketika mobil berbelok ke sebuah rumah makan. Aku memang berniat membeli makanan jadi untuk makan siang hari ini. “Ayah sama saja seperti Bunda, tidak percayaan,” katanya seraya menutup telepon dan meletakkannya begitu saja di pangkuannya. Namun, ketika aku selesai memarkir kendaraan, telepon itu berdering. Buru-buru Sandra mengambilnya dan memberikannya kepadaku. “Dari ayah,” katanya dengan wajah masih disaput cemberut.
Kudengar suara sisa-sisa tawa suamiku. Ia lalu menceritakan ulang apa saja yang baru saja dikatakan putrinya sendiri. Kudengarkan sambil tetap duduk di kursi mobil. Mesin masih kunyalakan.
“Jadi, apa pendapat ayah?” aku bertanya setelah suamiku selesai bicara.
“Aku tak punya pendapat. Tidak ingin berpendapat,” jawab suamiku. “Biarkan saja Ndra berpendapat seperti itu, sesuai dengan apa yang mungkin benar-benar dilihatnya. Bisa saja benar, bisa saja semacam halusinasi atau ilusi. Atau apapunlah. Dia masih kanak-kanak. Dia mungkin saja punya kemampuan melihat yang berbeda seperti kita, melihat dengan tanda petik. Kalau memang benar seperti apa yang dilihatnya, ya itulah dunia. Penuh dengan segala pernak dan perniknya. Tak usah terlalu dipikirkan. Sekarang sedang di mana?”
“Di depan sebuah rumah makan. Bunda mau beli makanan jadi. Inah sedang kurang enak badan,” aku menjawab.
“Mmm, nanti malam Ayah akan bawa makanan jadi juga untuk makan malam. Pukul delapan mungkin Ayah sudah tiba di rumah. Hati-hati ya,” kata suamiku yang terpaksa bekerja pada hari Minggu untuk membereskan beberapa tugas yang belum diselesaikannya pada hari Sabtu.
Terik matahari serasa memanggang ketika aku dan Sandra keluar dari mobil. Sandra berlari ke dalam rumah makan langganan kami untuk menghindari panggangan sinar matahari. Aku menyusul di belakangnya.

***

Seperti katanya, suamiku tiba di rumah sekitar pukul delapan malam sambil membawa sejumlah tentengan di tangannya. Inah buru-buru menyambar dan membawanya ke meja makan. Sandra dengan cepat menarik tangan ayahnya untuk menemaninya mengerjakan PR seperti kebiasaannya.
“Yah!” aku sedikit berteriak ketika makan malam selesai disiapkan Inah. “Makan malam sudah siap!”
Suamiku muncul beberapa saat kemudian.
“Mana, Ndra?” aku bertanya kepadanya.
“Tengah membereskan buku-bukunya,” jawab suamiku seraya menarik kursi.
Lima menit kemudian putriku muncul untuk ikut makan malam. Sandra tak pernah melewatkan saat-saat makan malam bersama karena ayahnya kerap melucu sambil makan. Aku sebenarnya tidak begitu suka dengan kebiasaan suamiku, tapi aku tak bisa tak suka pada apa yang sangat disukai putriku.
 “Jangan dimakan dulu, Ayah!” dia setengah menjerit tiba-tiba. Berdiri terpaku di ujung meja. Aku dan suamiku tergagap. Dan diam. Menunggu.
“Itu bukan nasi, Yah,” katanya kemudian.
“Lho, jadi ini apa?”
“Belatung!”   Tanah Kusir, 270311









           

PEMASUKAN :
tgl 27 Feb 2019
1.Masjid =Rp.250.000
2.Tromol =Rp.173.000
Jumlah =Rp.423.000

PENGELUARAN :
Ta'lim =Rp.179.000
SALDO Rp.244.000
Bendahara
1.Ali Agus
2.Basri Arbain

Ketua Majlis
Mahyuddin Hanafi




Total Pageviews

Video Majlis AlAbror

Popular

Buku Tamu

Sahabat