Masihkah olahraga Indonesia punya masa depan? Sudah pasti jawabannya bisa beda-beda. Rita Subowo (Ketua Umum KONI/KOI) udah pasti bilang ‘masih’. Apalagi Menpora Andi Mallarangeng yang senantiasa optimistis dengan senyum khas pada bibirnya yang berkumis. Pejabat publik memang mesti kelihatan fresh dan optimis.
Tapi cobalah jalan-jalan ke Kantor KONI Pusat di gedung kerucut di Senayan. Atau kantor KOI di Gedung FX Senayan. Lalu, tanyakan soal SEA Games. Gimana persiapan kepanitiaannya (Inasoc), gimana persiapan atletnya. Sejumlah orang bisa jadi menjawab begini, “nggak tahu ya, jadi apa nggak SEA Games di Indonesia. Duitnya juga nggak ada. Kami juga belon gajian.”
Jawaban itu saya dapatkan dari seseorang di Gedung KONI Pusat beberapa waktu ‘lalu’. Beberapa waktu ‘kini’ mungkin sudah beda, sudah ada kemajuan menggembirakan. Mudah-mudahan. Sebab, sejak dikabarkan rekening Inasoc masih nil, belum ada berita tentang pencairan dana SEA Games. Bisa jadi sudah tanpa banyak cawe-cawe, bisa jadi sudah tapi tak banyak yang tahu, bisa juga sudah dalam tahap dijanjikan, bisa jadi juga sudah beneran.
Yang pasti, kondisi itu, situasi itu, sangat kontradiktif jika mau kita bandingkan dengan persiapan SEA Games di zaman ‘dahulu kala’. Setidaknya ketika SEA Games terakhir digelar di Jakarta pada 1997. Di zaman KONI Pusat masih dipegang Wismoyo Arismunandar (1999-2003), misalnya, geregetnya berasa. Nendang, begitulah. Jauh-jauh hari kesibukan sudah terasa, khususnya ketika Indonesia jadi tuan rumah SEA Games pada 1997 itu.
Kini, pergantian Menpora dari yang satu ke yang lain tak memberi angin perubahan signifikan kecuali konsep-konsep program yang dibuat begitu hebat tapi lunglai pada tataran implementasi. Gereget keberadaan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga di era Orde Baru terasa sekali ketika dr. Abdul Gafur ‘bertakhta’, lalu digantikan Ir. Akbar Tanjung, dan disusul Hayono Isman. Sejak itu, gradasi penurunan geregetnya terasa setelah H.R. Agung Laksono berkuasa, disusul Mahadi Sinambela, Adhiyaksa Dault, dan kini Andi Mallarangeng. Kesibukan Menpora terasa nggak kepuguhan, nggak fokus pada pembinaan tapi pada sisi-sisi legalitas dan formalitas-formalitas lain.
Maka tak aneh jika kini, induk-induk cabang olahraga terpiuh-piuh bahkan untuk bertahan sekalipun. Pembinaan prestasi? Hanya cabang-cabang olahraga dengan Ketua Umum yang sangat peduli saja yang mungkin bisa menggeliat lumayan. Lihatlah senam yang merana. Bahkan kini bulutangkis yang sangat kita andalkan untuk mempertahankan tradisi emas di Olimpiade pun kondisinya tak semenggembirakan sebelumnya.
Tapi, untungnya, sekali lagi untungnya, cabang-cabang itu masih jauh dari campur tangan politisi. Tidak seperti yang kini kita lihat dan rasakan di sepakbola (PSSI). Di sepakbola, kepentingan politik agaknya bermain dominan sehingga Kongres PSSI untuk memilih Ketua Umum, Wakil, dan Anggota Komisi Eksekutif-nya jadi abur-aburan nggak keruan. Apakah kelak dengan begitu sepakbola Indonesia juga akan melejit bagaikan rudal? Mungkin juga. Pertanyaannya kemudian, kena sasaran apa nggak.
Eh, ini baru mengintip. Bagaimana kalau kita menyelam di dalamnya. Mungkin yang terjadi lebih mengerikan ya.*
0 komentar:
Post a Comment