Andini
Sintya merasa sebilah belati
sangat lancip dan tajam langsung menghunjam tepat pada jantungnya. Sesuatu yang
selama ini dikhawatirkannya akhirnya benar-benar terjadi: kehamilan Andini.
“Aku benar-benar telah gagal sebagai
wanita, sebagai istri, dan sebagai ibu,” Sintya meratap sendirian di ruang
kamarnya setelah Andini mengaku sudah terlambat hampir dua bulan. Lalu apa kata
Ferdi, suaminya, nanti? Dia tentu akan marah besar karena sebagai istri dan
ibu, Sintya tak berhasil mendidik Andini dengan baik. Ferdi memang merestui
hubungan Andini dan Antoni, namun dia tentu takkan membiarkan keduanya menikah cepat
dan lebih-lebih karena kecelakaan.
Tak ada yang salah pada diri Antoni.
Tubuhnya atletis. Kulit putih. Tampan. Bekerja sebagai teknisi yunior di sebuah
perusahaan penerbangan swasta dengan penghasilan lebih dari cukup. Dia juga
santun. Tak pernah terlibat narkoba dan minuman keras. Sebagai laki-laki dia
idaman.
Selama
ini Sintya memang satu-satunya penghuni rumah itu yang tak merestui hubungan
Andini dan Antoni. Karena dia tahu siapa Antoni. Satu-satunya kesalahan Antoni
cuma karena dia memiliki ayah bernama Barja.
***
“Ibuku marah besar, Ton,” Antoni
mendengar suara Andini lewat telepon.
“Wajar,” Antoni menjawab sambil
terus memeriksa berkas-berkas di hadapannya.
“Kamu kok seperti tanpa beban? Kamu nggak
khawatir?” Andini memprotes.
Antoni tertawa ringan. “Orang tua
mana yang tak marah mendengar putrinya hamil? Itu melanggar aturan agama
manapun. Kau pun akan melakukan hal yang sama jika kelak anak kita mengalami
hal yang sama...”
“Hus!” Andini memotong. “Anak kita?”
Andini menyambung sesaat berikutnya. “Memangnya kamu yakin kita akan menikah?”
Antoni kembali tertawa. “Yakin. Aku
juga yakin kamu akan harakiri bila kutinggalkan,” Antoni mengakhiri
kalimatnya dengan suara tawa.
“Udah ah. Jangan tertawa
terus. Aku harus melakukan apa?”
“Nggak ada yang harus kamu
lakukan kecuali menunggu. Lihat saja apa yang akan terjadi dalam beberapa hari
berikutnya.”
Andini menutup teleponnya bersamaan
dengan dering telepon di atas mejanya. Dari Meme, atasannya di sebuah
perusahaan multifinance. “Din, tolong periksa lagi laporan keuangan ya.
Aku melihat ending balance-nya masih belum pas,” suara Meme singkat.
“Oke bos!” jawab Andini lugas.
***
Ferdi menyudahi
kemarahannya dengan tarikan napas dalam. Duduk di hadapannya, Sintya sama
sekali tak berani mengangkat kepalanya.
“Andini dan Antoni harus segera
dinikahkan,” katanya.
Bagi Sintya, kalimat itu menjadi
sebuah vonis mematikan yang tak bisa dielakkannya. Segunung sesal menyumbat
pernapasannya membuatnya tersengal. Ingin dikatakannya kepada suaminya siapa
Antoni agar pernikahan itu tak pernah terjadi. Tapi, jika penjelasan itu sampai
dikeluarkannya, sangat mungkin Ferdi akan membunuhnya. Atau mencampakkannya ke
liang paling busuk sementara dia hanya bisa meratap dan pasrah.
Laki-laki mana yang mau mendengar
penjelasan perselingkuhan istrinya dengan pria lain? Suami mana yang secara
ikhlas mau menerima kenyataan bahwa putrinya adalah anak hasil hubungan gelap
istrinya dengan laki-laki lain?
Sintya merebahkan tubuhnya di sofa
di ruang depan setelah suaminya melangkah ke luar dan pergi entah ke mana.
Wajah Barja, laki-laki yang telah melenakannya bermain-main dalam benaknya.
Sintya melenguh membuang rasa sesalnya namun dia tak bisa mencampakkan
kenyataan bahwa pada akhirnya dia baru bisa hamil setelah hampir empat tahun
menikah. Dan itu terjadi setelah Barja mampu meluluhkan benteng pertahanan
kesetiaannya pada Ferdi suaminya.
***
Sintya yang membuat pertemuannya
dengan Barja terjadi di suatu tempat setelah dia gagal menemukan cara untuk membatalkan
pernikahan putrinya dengan Antoni. Dia sempat berpikir untuk melakukan
perbuatan nekat dengan cara membunuh Andini atau Antoni agar perkawinan itu tak
pernah terjadi. Namun dia tak cukup punya keberanian untuk melakukannya. Sintya
merasa tak cukup punya latar belakang dan motivasi untuk bertindak seperti itu.
Jika kelak dia tertangkap, polisi tentu akan terus mencecarnya dengan berbagai
cara untuk mendapatkan alasan tindakannya. Dan dia tak cukup punya keberanian
untuk berkata jujur. Sintya tetap ingin rahasianya dan Barja tetap jadi milik
mereka berdua.
“Yang
aku inginkan pernikahan itu tak pernah terjadi,” ucap Sintya lugas.
Barja menatap lekat mata wanita di
hadapannya. “Kau tahu, tak ada yang bisa kita lakukan untuk mencegah perkawinan
Dini dan Toni. Upaya-upaya itu tidak taktis. Itu justru akan membuat mereka
penasaran dan ingin tahu alasan sebenarnya.”
Kegalauan bergulung-gulung di dada
Sintya. “Tapi mereka sedarah. Kaulah ayah mereka. Dini anak biologismu. Itu tak
bisa dibantah.”
“Tapi itu tak akan mengubah apapun.
Kurasa kita cuma bisa pasrah pada kenyataan. Biarkan mereka menikah dan kita
lihat apa yang terjadi nanti.”
“Risikonya bisa sangat fatal,
Barja.”
Barja tersenyum getir. “Setidaknya
rahasia kita tetap jadi rahasia kita. Orang lain mungkin cuma bisa
menebak-nebak.”
***
Sintya didera
rasa lelah luar biasa ketika dia harus memaksakan diri mengumbar senyumnya
kepada setiap tamu yang datang ke pesta pernikahan Andini dan Antoni. Belum
pernah dia merasa selelah itu. Sepanjang pesta berlangsung dia harus terus
bersikap manis kepada semua orang, famili, sanak saudara, tetangga, dan
teman-teman yang datang untuk memberi restu.
Tak pernah terbayangkan semua ini
pada akhirnya terjadi. Ingin rasanya Sintya mati saja agar penderitaannya
berakhir. Atau ingin dia waktu berputar balik ke masa remajanya agar dia bisa
menjalani kehidupannya dengan lurus dan tak pernah membiarkan laki-laki lain
menjamah tubuhnya selain suaminya sendiri. Mungkin dia memang takkan memiliki
anak dari Ferdi karena kemandulannya. Tapi dia bisa mengadopsi anak dari salah
satu panti asuhan di kota ini. Itu bisa jadi lebih baik daripada memiliki anak
kandung namun dari pria lain yang bukan suaminya sendiri.
Kini, di balik gaun anggun yang dikenakannya,
Sintya justru merasa menjadi wanita paling kotor di seantero dunia. Dia berdosa
kepada Tuhan karena tak mematuhi ajaran-ajaran-Nya. Dia merasa sangat berdosa
kepada suaminya karena telah melakukan pengkhianatan yang pasti takkan
termaafkan bila suaminya sampai tahu.
Di ujung sana, Sintya melihat Titik,
istri Barja, dengan suka cita membalas ucapan selamat dari tamu-tamunya.
Senyumnya lepas. Tawanya sumringah. Alangkah bahagianya jika dia menjadi Titik.
Dia pastilah kini merasa menjadi perempuan paling sempurna. Seorang ibu yang
bisa mengantarkan anaknya ke jenjang pendidikan tertinggi dan memiliki
pekerjaan dengan penghasilan sangat memadai. Kebahagiaan Titik kini disempurnakan
karena dia bisa mengantarkan sang anak ke pelaminan dengan Andini, seorang
gadis cantik dengan pendidikan tinggi dan pekerjaan yang juga menjanjikan masa
depan gemilang.
‘Mengapa Tuhan tidak menjadikan aku
Titik saja, dan Titik menjadi aku,’ pikir Sintya.
***
Titik tengah bersilonjor melepaskan
penatnya ketika pesta perkawinan Antoni dan Andini berakhir. Telepon genggamnya
berbunyi.
“Tik,” Titik mendengar seseorang
langsung menyebut namanya.
“Siapa ini?”
“Gusman.”
Titik menarik napas.
“Mau apa kamu?” dia bertanya sambil
melihat sekeliling. Dia sendirian di tempat itu.
“Ingin kuucapkan selamat atas
perkawinan Antoni. Anak kita.”
Titik terdiam. Ada sedikit debar di
dadanya. Dia merasa seperti ada seseorang yang tengah mengawasinya walaupun kenyataannya
tak ada siapa pun di sana. Terbayang wajah Gusman, laki-laki yang dicintainya
sejak duduk di bangku SMA dan kemudian berhasil menceburkannya ke kubang dosa
sebulan sebelum pernikahannya dengan Barja.
“Kuharap ini yang terakhir kali kau
menghubungi aku,” kata Titik dengan hati teriris. Diakuinya, Gusman adalah
laki-laki yang telah mencuri hatinya dan hingga kini dia tak berhasil
merebutnya kembali.
Titik mendengar tawa kecil Gusman.
“Ya, ini yang terakhir. Aku tak ingin mengusik kebahagiaanmu.”
Dan, Titik pun menutup telepon itu.
Lalu menghapus bintik keringat yang tiba-tiba menyembul di dahinya.
0 komentar:
Post a Comment