Wednesday, February 26, 2014

Bang abang ayo dong Bang
Abang bilang mau pulang
Saya tunggu sambil begadang
Tapi abang nggak juga pulang
*
Jangan-jangan abang ada simpanan
saya khawatir abang kepincut perawan
Jangan-jangan abang lupa jalan
Sampai abang biarin saya sendirian
*
Bang abang ayo dong Bang
Abang bilang mau pulang
Saya tunggu sambil begadang
Tapi abang nggak juga pulang
*
Abang oh abang saya jadi curiga
Jangan-jangan ada cinta segitiga
Jangan-jangan juga sudah tak cinta
Sama saya yang selalu setia
*
Bang abang ayo dong Bang
Abang bilang mau pulang
Saya tunggu sambil begadang
Tapi abang nggak juga pulang
*
Abang oh abang di mana abang berada
Abang oh abang apa masih punya cinta
Kalau cinta pulang cepat sekarang
Biar kita bisa lagi sayang-sayang
*
Bang abang ayo dong Bang
Abang bilang mau pulang
Saya tunggu sambil begadang
Tapi abang nggak juga pulang
-
* asmara.gue@gmail.com
* aba.mardjani@yahoo.com
SUZANN Pettersen berpeluang menumbangkan singgasana Pak In-bee di posisi teratas peringkat golf dunia pekan ini.

Pettersen, 32, pegolf asal Norwegia, dipastikan menggeser posisi In-bee jika ia jadi juara di HSBC Women’s Champions di Singapura, sementara In-bee finis di luar T-3 bersama dua pemain.

“Bagus juga kalau saya bisa menjadi pegolf terbaik dunia, namun di sisi lain saya tidak berpikir akan terus bermain. Jadi, itu motivasi saya setiap hari,” kata Pettersen, dikutip Sky Sports, Rabu (26/2).

“Saya kirahal paling penting untuk bisa menjadi lebih baik setiap hari adalah apa yang membuat Anda bangun di pagi hari, apa yang membuat Anda bisa melalui hari-hari berat, hari-hari baik.”

“Tentu saja impian saya menjadi wanita pegolf terbaik dunia. Tapi, pada saat yang sama, yang saya inginkan adalah melihat sejauh mana langkah saya setiap hari,” ia menambahkan..

In-bee, yang menduduki posisi kedua di debut turnamen 2014 di Thailand, pekan lalu, berharap tetap bisa bertahan di peringkat atas dunia. Pesaingnya, selain Pettersen, ada Stacy Lewis yang juga juara bertahan di Singapura.

Turnamen di Singapura digelar di Sentosa Golf Club (par 72) mulai Kamis (27/2).

Monday, February 24, 2014

Jangan bilang...jangan bilang...cinta
Kalau kamu takut oh menyayangi
Jangan bilang...jangan bilang...suka
Kalau kamu takut oh melindungi
*
Biarkan...biarkan saja...kusendiri
Meniti jalan sepi...sepi..sepanjang hari
*
Sungguh...oh sungguh aku tak ingin berharap
Suatu hari kamu...kamu datang mendekap
Karna kutahu...karna kutahu kamu cuma petualang
Bagiku...bagiku kau cuma...cuma pecundang
*
Pergilah...pergi...kamu jangan gangguku
Bawa k’mana saja cinta gombalmu
Aku bukan perempuan  yang mudah terlena
Karna kau tahu...kutahu...kamu coba pendusta
*
Kamu...kamu...cuma petualang
Kamu...kamu...cuma pecundang
Jangan...jangan...berani lagi datang
Kalau kamu datang pasti kutendang

* asmara.gue@gmail.com
* aba.mardjani@yahoo.com

Thursday, February 20, 2014

Uh ah uh ooooo ah
Sebel...sebel...sebel...sebel...
Dasar muka lo emang tebel
Enaknya gue siram sambel
Otak lo emang otak bebel
Duit korupsi bikin otak lo bebel
Gak punya malu karna kantong lo tebel
*
Lo tau tapi lo gak peduli rakyat susah
Tiap hari hidup penuh gelisah
Mau apa aja serba resah
Duit gak punya utang juga gak bisa
Rakyat cuma bisa mewek mendesah-desah
*
Ooooo
Sekarang lo pada repot lagi mo jadi caleg
Lo tau banyak duit yang bisa lo korek
Lo gak peduli rakyat terus merengek
Menangis-menangis-menangis kayak kambing congek
Hidup merayap-rayap kayak tokek
Buat lo gak urusan orang lain pada bokek
Yang penting idup lo enak sampe kakek-nenek
*
Oooo...
Dasar emang lo tu rakus kayak tikus
Apa aja lo embat lo ringkus
Apa aja lo sikat lo bungkus
Apa aja lo sabet lo ringkus
Lo gak peduli biar rakyat mampus
*

- asmara.gue@gmail.com

Tuesday, February 18, 2014

Hmmm.....
Malam ini kucandai rembulan
Tuk mengusir rinduku tak tertahan
Saat kau jauh dariku jauh entah di mana
Dan aku tak tahu kan mencarimu ke mana
*
Gemerisik dedaunan di tepian kolam
Temani diriku dalam kesendirian
Nada-nada lirih kunyanyikan di hening malam
Kusampaikan salam melalui rembulan
*
Kau tahu cintaku sangatlah murni
Putih dan bening serupa salju
Tiada wanita lain dalam batin ini
Namamu terpatri dalam hatiku
*
Biarlah biar kusendiri nikmati rindu
Biarlah biar kusendiri nikmati pilu
Asalkan kau bahagia bersama dia
Asalkan kau bahagia tiada derita
*
Gemerisik dedaunan di tepian kolam
Temani diriku dalam kesendirian
Nada-nada lirih kunyanyikan di hening malam
Kusampaikan salam melalui rembulan

* aba.madjani@yahoo.com
* asmara.gue@gmail.com

Monday, February 17, 2014



Ooo engkaulah cinta yang kupuja
Ooo engkaukah 'smara membara
Namamu terpatri dalam sanubari
Namamu kusebut setiap hari

Padamulah kasih kulabuhkan hati
Padamulah kasih kupancang harap
Jangan biarkan kuterus menanti
Datanglah kini agar dapat kudekap

Ooo senyummu anugerah terindah bagiku
Ooo suaramu nyanyian terindah bagiku
Tanpamu apalah arti hidupku
Tanpamu aku jadi perdu bisu

Reff:
Kemarilah kasih biar kunikmati senyum indahmu
Sapalah pagiku agar hariku indah selalu
Jangan pernah biarkan bunga cintaku layu
Tanpamu aku jadi perdu nan bisu

Padamulah kasih kulabuhkan hati
Padamulah kasih kupancang harap
Jangan biarkan kuterus menanti
Datanglah kini agar dapat kudekap

* aba.mardjani@yahoo.com
Naskah ini juga diposting di Kompasiana

Thursday, February 13, 2014



TIGER Woods harus bermain golf sendirian, setiap hari, selama sebulan. Itu kata mantan juara major British Open, Ian Baker-Finch.

“Masalah Tiger itu swing-nya. Ia selalu menyalahkan puting-nya, tapi menurut saya bukan puting. Ini masalah swing, dan ia perlu melakukan latihan untuk itu,” kata Baker-Finch yang kini jadi komentator stasiun tv CBS, kepada Reuters, seperti dikutip Sport Yahoo.

Tahun ini Woods sudah tampil di dua event. Ia duduk di posisi 80 PGA Tour di San Diego dan ke-41 di Dubai Desert Classic di rangkaian European Tour.

Baker-Finch yang mengaku menyaksikan siaran langsung pertandingan Woods di Dubai. Ia mengaku tak suka dengan cara Sean Foley melatih Woods.

Jawabannya, kata Baker-Finch, bukan memukul ribuan bola pada jarak tertentu, tapi bagaimana memukul lusinan bola dalam sebuah latihan terarah sebelum ia tampil di Masters, April. Di turnamen itu Woods memburu gelar major-nya yang ke-15 atau pertama setelah puasa gelar major selama enam tahun terakhir.

“Tiger harus mencetak skor setiap hari sampai nanti ia tampil di turnamen berikutnya, bukan melakukan pukulan sempurna pada jarak tertentu bersama Sean dan Trackan (radar yang digunakan pegolf untuk membantu swing mereka),” kata Baker-Finch.

“Yang harus dilakukan Tiger cuma pergi dan menikmati permainan golf seraya memasukkan bola dalam bilangan serendah mungkin. Saya kira itu juga yang ia lakukan ketika belia.”

Wednesday, February 12, 2014



Rumah di Desa

Cerpen: ABA MARDJANI

WAJAH Catherine membinar ketika sore itu memperlihatkan sebaris kalimat singkat di layar ponsel kepada suaminya. ‘Iya. Mama dan Papa akan datang besok’.

“Betulan?” Ahlan tak mampu membendung rasa gembira yang menyesaki  dadanya. Dilahapnya wajah istrinya. Ia mendapati air bening di sudut mata kanan istrinya siap menetes seperti sisa embun di pucuk-pucuk kamboja. “Kamu mau nangis?”
Catherine menerkam tubuh suaminya. Memeluk erat seperti pasangan yang baru bertemu setelah perpisahan lama. Ia sesenggukan menahan tangis. Di usia hampir setengah abad, baru kali ini Catherine merasa benar-benar bahagia. Padahal ia yakin itu baru awal dari kebahagiaan sesungguhnya manakala ibu dan ayahnya hadir mengunjungi rumahnya esok hari sesuai janjinya.
“Kalimat sakti apa yang kamu sampaikan kepada mama dan papa sehingga mereka akhirnya memutuskan mau datang?” Ahlan melepaskan pelukan istrinya dan menikmati wajah istrinya yang telah dibasahi air mata.
“Kubilang ‘aku rindu mama dan papa’. Itu saja,” jawab Catherine dalam sengguknya.
Beberapa saat keduanya terdiam sampai kemudian Ahlan berkata bersama embusan napasnya, “Maafkan aku yang terpaksa membuatmu menderita selama ini.”
“Siapa bilang aku menderita, Pa? Aku bahagia dengan pilihanku menikah denganmu dan memilih tinggal di desa ini. Tidak ada yang salah. Kini, hal itu tak perlu kita bahas lagi. Lebih baik kita mempersiapkan diri dengan kehadiran Papa dan Mama dari kota.”
Ahlan mengecup kening istrinya. “Tuhan menyayangi kita. Tuhan tak pernah berhenti memberi kebahagiaan kepada kita. Waktu demi waktu,” katanya. Catherine mengangguk dan meninggalkan suaminya sembari membawa sisa-sisa senyumnya. Waktu magrib hampir tiba.
Ahlan duduk bersila di bagian depan surau mungil yang asri di Desa Cibaresah selepas salat magrib. Semilir angin malam mulai berkesiur membuat pucuk-pucuk pohon menari-nari gemulai.
“Wajah Pak Ahlan ceria betul malam ini,” Badrul membuka percakapan seraya melepas kopiah hitam di kepalanya.
“Seperti orang habis dapat lotre,” sambung Hasnul sambil mencabut sebatang rokok dan menyulutnya seolah ingin mengusir rasa dingin yang mulai menjalari tubuhnya.
“Iya. Saya memang sedang bahagia betul hari ini,” Ahlan membuka mulut dan menyapukan pandangannya ke wajah Badrul, Hasnul, Saijan, dan Mundari yang duduk membentuk lingkaran di kanan dan kirinya.
“Bagi-bagilah kebahagiaannya, Pak,” Saijan merapikan topi kupluknya.
“Ibu dan ayah mertua saya mau datang besok,” Ahlan memulai.
“Wah, harus disambut meriah itu, Pak,” Hasnul dengan cepat menyambar kalimat Ahlan. “Saya baru dengar kabar tentang kedua orang tua Bu Catherine...”
Ahlan tertawa lebar. “Pak Hasnul bisa saja. Meriah bagaimana itu?”
“Ya meriahlah. Pokoknya meriah. Serahkan saja sama saya, Pak. Maksud saya kepada kami. Pak Ahlan tahu beres sajalah,” kata Mundari. Wajahnya nampak semringah.
Ahlan menarik napas. Jauh di lubuk hatinya ia benar-benar bersyukur memiliki sahabat-sahabat di desa seperti Badrul, Hasnul, Saijan, dan Mundari. Merekalah pelengkap kebahagiaan hidup yang diperolehnya di Cibaresah, sebuah desa terpencil yang dipilihnya untuk menerapkan segala ilmu pertanian yang diperolehnya dari sebuah perguruan tinggi di Bogor. Pilihan yang sempat ditentang kedua orang tuanya sendiri.
Namun, pertentangan terbesar datang dari ayah dan ibu Catherine, wanita berbeda fakultas dan tingkat yang disuntingnya.
Ahlan tak ingin menyalahkan ayah dan ibu mertuanya ketika mereka melarang putrinya mengikuti suaminya tinggal di sebuah desa terpencil.
“Aku ingin kamu seperti kakak-kakakmu, kerja di kantor megah di ibu kota. Itulah tujuan Mama dan Papa menyekolahkanmu tinggi-tinggi,” kata ibu mertuanya kepada Catherine ketika hampir 20 tahun lalu mereka menghadap untuk mohon pamit.
Tak ada yang benar-benar berubah pada Amalia dan Ibrahim ketika pagi itu, 20 tahun kemudian, keduanya menyusuri sebuah jalan kecil menuju Desa Cibaresah. Mobil jip besar itu membuat tubuhnya seperti menari-nari ke kiri dan ke kanan, ke depan atau ke belakang. Sesekali tersembur serapah dari bibirnya.
“Nenek sudah renta. Tak lama lagi mungkin nenek mati. Juga kakek,” ujar Amalia sembari melirik suaminya yang duduk di samping sopir. Dua gadis belia dan tiga anak laki-laki yang duduk di kursi belakang diam mendengarkan. “Nenek ingin mati di tengah-tengah cucu-cucu nenek seperti kalian,” ia menoleh kepada kedua gadis yang duduk mengapitnya di kursi tengah. “Juga semua anak nenek. Karena itu, nenek akan paksa Ahlan membawa pulang Cathy ke kota. Mereka tidak layak tinggal di desa terpencil seperti ini.”
Amalia berhenti sesaat. Mobil terus berjalan pelan untuk menghindari lubang-lubang kecil dan besar serta batu-batu kecil di jalan.
“Sampai sekarang nenek masih tetap tidak habis mengerti dengan jalan pikiran Cathy, tante kalian itu,” ia melanjutkan kalimatnya. “Nenek menyekolahkan anak-anak supaya hidup enak di kota. Apa-apa serba gampang. Nenek ingin Cathy seperti si sulung Andre yang hidup enak sebagai direktur bank, atau Johan si nengah yang sekarang malah diangkat sebagai kepala cabang perusahaan ekspor impor. Apa kurangnya?”
Tak ada yang bersuara.
“Gaji mereka besar, fasilitas mobil, rumah, apa saja ada.”
“Tapi, Nek,” seseorang dari kursi belakang menyahut.
“Tapi apa?” tanya Amalia tanpa menoleh.
“Tapi hidup kan tidak selalu harus sesuai keinginan nenek. Orang bisa punya pilihan sendiri yang dianggapnya baik, Nek.”
Amalia tersenyum nyinyir. “Kamu, Rifki, rupanya mulai keracunan tantemu.”
Tak ada sahutan.
“Nenek setuju dengan kebebasan memilih, tapi harus yang masuk akal. Bukan tinggal di desa terpencil seperti ini. Apa yang mereka cari? Kebahagiaan seperti apa yang mereka kejar?”
Tak ada yang berani menyahut. Juga Ibrahim suaminya.
Beberapa saat kemudian, mobil jip besar itu sudah memasuki ujung Desa Cibaresah. Sebuah tanjakan tinggi menunggu di ujung jalan di hadapan mereka. Umbul-umbul warna-warni nampak di kiri dan kanan sepanjang jalan.
“Umbul-umbul apa ini?” Ibrahim bersuara. “Apa ada upacara? Ada pesta desa?”
“Mungkin saja, Pa,” Amalia menyahut. “Mungkin ada kunjungan lurah atau kepala desa. Biasa itulah. Namanya di kampung. Lurah pun bisa seperti presiden. Dihormati dari ujung kaki sampai ujung rambut.”
Selepas tanjakan, seorang lelaki menghentikan laju mobil. “Mau ke mana, Pak?” laki-laki berpakaian batik itu bertanya kepada Ibrahim.
“Ke rumah anak saya...”
“Pak Ahlan dan Bu Cathy?” laki-laki itu menyergah.
“Betul.”
“Kalau begitu, ikuti saja jalan yang diberi umbul-umbul ini, Pak,” kata laki-laki itu seraya menganggukkan hormat.
Umbul-umbul itu memang mengarah ke sebuah rumah besar terbuat dari kayu dan bambu. Halamannya luas. Nampak asri dengan berbagai tumbuhan berbunga indah.
Begitu semua penumpang turun, Catherine segera menyergap ibunya. Berpelukan lama dan memuntahkan semua air mata kerinduan yang terpendam lebih dari 20 tahun. Di belakangnya menunggu suaminya, satu anak perempuan, dan dua anak laki-lakinya yang beranjak remaja. Beberapa saat kemudian, orang-orang desa berkerumun mengitari mereka. Hampir setengah jam upacara pelepas rindu itu berlangsung sampai kemudian Catherine dan Ahlan membawa mereka memasuki teras rumah yang juga sudah dipenuhi warga.
“Bapak-bapak dan ibu-ibu serta saudara-saudara sekalian,” terdengar sebuah suara melalui pengeras suara. “Izinkanlah saya selaku kepala desa di sini, nama saya Pak Sambusir, menyampaikan ucapan selamat datang kepada orang tua Ibu Catherine dan Pak Ahlan...” ia berhenti sesaat.
Lalu katanya lagi, “Bapak Ibrahim dan Ibu Amalia yang saya hormati beserta cucu-cucunya yang datang dari kota, beginilah desa kami. Masih terpencil memang. Tapi, kesejahteraan tak pernah jauh dari kami. Di sini kami hidup saling tolong menolong. Saling membantu satu sama lain.”
“Mengapa kami bisa hidup sejahtera?” Kepala Desa Sambusir melemparkan pertanyaan. “Harus saya katakan Pak Ibrahim dan Bu Amalia, semua ini berkat kerja keras Bu Cathy dan Pak Ahlan yang datang ke desa ini 20-an tahun lalu. Merekalah yang membantu kami tata cara irigasi yang benar, bercocok tanam yang baik, beternak dengan tekun, semuanya. Hasilnya sekarang terasa. Kami hidup sejahtera. Hidup bahagia. Kami tidak kekurangan pangan dan sandang. Kami memang tidak hidup mewah seperti orang-orang di kota. Karena apa? Karena kami tidak mengejar kemewahan. Yang kami cari adalah kebahagiaan hidup. Hidup sehat, taat beribadat, saling hormat dan saling bantu sesama tetangga dan saudara...” Kepala Desa Sambusir berhenti sejenak. Mengatur napasnya.
Tak ada yang bersuara.
“Karena itu, Pak Ibrahim dan Bu Amalia,” Sambusir melanjutkan kalimat setelah meneguk air putih di depannya. “Kami sangat menghormati Pak Ahlan dan Bu Cathy lebih dari saudara atau bahkan orang tua kami. Hal itu dapat dibuktikan dengan kehadiran hampir semua warga di sini. Kami tinggalkan dan tanggalkan semua kesibukan kami hari ini demi menghormati kedatangan Pak Ibrahim dan Bu Amalia. Orang tua mereka berarti orang tua kami juga....”
Tak ada kata yang bisa diucapkan Amalia dan Ibrahim. Rasa haru membalut dada keduanya seperti awan yang membalut pucuk gunung. Mereka terharu melihat kebahagiaan Cathy dan Ahlan bersama tiga anaknya yang nampak begitu sehat dan segar.
Tiga hari kemudian, sopir yang mengantarkan mereka ke desa itu menemui Amalia yang tengah menyantap hidangan sarapan pagi bersama-sama.
“Jam berapa kita balik ke kota, Bu?” ia bertanya kepada Amalia.
“Balik ke kota?” ia balik bertanya, nyaris tanpa ekspresi. “Siapa yang mau balik ke kota? Mungkin cucu-cucuku saja yang pulang ke kota. Aku dan Bapak akan tetap tinggal di sini. Sampai aku bosan. Kalau tidak bosan, ya seterusnya aku tinggal di sini. Betul begitu kan, Pak?” Amalia melirik suaminya.
“Siapa takut?” jawab Ibrahim. Tak ada keraguan dalam nada suaranya.
*Perigi, Tanah Kusir, 13 Agustus 2013

Sunday, February 9, 2014

MUKENA CANTIK DARI PEKALONGAN

INGIN mukena baru yang cantik. Batik lukis Pengalongan. Bahan katun santung. Lembut. Adem. Nyaman. Aneka pilihan.
Harga Rp175.000 belum termasuk ongkos kirim.
SMS ke 081297530558
BBM ke 29E027D0

PEMASUKAN :
tgl 27 Feb 2019
1.Masjid =Rp.250.000
2.Tromol =Rp.173.000
Jumlah =Rp.423.000

PENGELUARAN :
Ta'lim =Rp.179.000
SALDO Rp.244.000
Bendahara
1.Ali Agus
2.Basri Arbain

Ketua Majlis
Mahyuddin Hanafi




Total Pageviews

Video Majlis AlAbror

Popular

Buku Tamu

Sahabat