Cerpen:
ABA MARDJANI
Laku Sandra tiba-tiba saja jadi begitu memualkan.
Mendadak dia menyusupkan wajah. Pelukan dan cengkeram kuku-kuku pada jari-jari tangan
mungilnya menembus gaunku membuat aku hampir tidak dapat melangkah begitu kami
keluar dari mobil dan aku siap berbelanja di sebuah pasar tradisional.
“Ada
apa, Ndra?” aku bertanya, menahan riak-riak galau di dada. “Kamu takut apa?”
Gadis
itu bungkam. Tetap menyembunyikan wajah serupa cacing kena papar sinar
matahari. Kedua tangannya masih membelenggu langkahku. Aku coba berjongkok dan
susah payah mengangkat wajahnya. Terpejam erat matanya setelah sesaat mencoba
membuka. Aku terpaksa mendekapnya dan merasakan degup kencang dadanya. Beberapa
saat berdiri dan sejumlah orang mulai memerhatikanku, aku membawa gadisku yang
baru berusia delapan tahun itu melangkah memasuki pasar.
Di
dalam pasar, ancaman dan bujukan sama tak mempan. Sandra mengerut ketakutan.
Beberapa saat kemudian menangis dan minta dibawa pulang. Aku tak memberiku
pilihan lain.
Di
dalam mobil, belai pendingin udara tak langsung menghapus bintik-bintik keringatnya.
Kini, aku jadi ketakutan.
“Kita
ke dokter kalau kamu sakit,” kucoba menenangkan dia seraya membelai rambutnya
sambil mataku terus mengawasi jalan di hadapanku. “Kamu sakit, sayang?”
Sandra
menggeleng perlahan. Pekat iris matanya menatapku. Kuraba dadanya. Pelan-pelan dia
mulai nampak tenang.
“Kamu
tidak sakit?” aku merasa lebih tenang. Kubatalkan niat menghubungi suamiku yang
sesaat muncul. Aku tak ingin mengganggunya untuk urusan yang sebenarnya bisa
kuatasi sendiri. “Tapi, mengapa tadi kamu seperti ketakutan?”
Aku
menginjak pedal gas lebih dalam begitu ruang di depanku longgar. Kuhela napas
dan membuangnya sekaligus untuk mengusir remah-remah galau di dadaku. “Okelah
kalau Ndra belum mau menjawab. Nggak
apa-apa,” aku melanjutkan, membiarkan Sandra asyik dengan dirinya sendiri.
“Mungkin nanti di rumah Ndra bisa ngomong.”
Inah
tergopoh muncul begitu aku memasukkan mobil ke dalam garasi. “Kok cepat sekali,
Bu?” dia bertanya sambil menarik Sandra keluar dari dalam mobil.
“Nggak jadi belanjanya, Inah.”
“Memangnya
kenapa, Bu? Macet ya? Pasarnya tutup? Atau uang ibu ketinggalan?”
Aku cuma memberinya
senyuman untuk berondongan pertanyaannya. “Nanti kita beli makanan jadi saja,
Inah,” kataku kemudian setelah mendorong pintu mobil dan melangkah ke dalam
rumah.
***
Pengakuan Sandra
membuat mataku terbeliak.
“Bunda,” ia
berkata, mengawalinya agak takut-takut. “Aku tadi melihat ular. Ada yang besar
sekali, ada yang kecil...”
“Di pasar tadi?”
aku memenggal ceritanya. Gadisku mengangguk pelan. “Mana mungkin di pasar ada
ular, Ndra? Kamu....”
“Betul, Bunda,” Sandra
kini yang mencegat ucapanku.
“Pasar itu tempat
orang berdagang, anakku,” kubelai lagi rambutnya. “Ada yang jual sayur-mayur,
kebutuhan rumah tangga, jual perhiasan, peralatan sekolah, pakaian, mainan...”
“Aku juga tahu,
Bunda,” Sandra kembali memutus kalimatku, “tapi....”
“Apa?” kucoba
menekan suaraku agar tak terdengar sebagai orang yang tak sabaran dan aku
memang siap mendengar lanjutan ceritanya.
“Di sana aku
melihat banyak sekali binatang, Bunda. Bukan cuma ular....”
“Apa?”
“Selain ular ada
juga babi, anjing, kera, kambing, banyak sekali, Bunda. Hampir di mana-mana.
Aku juga melihat orang-orang kecil dengan kepala besar. Aku takut sekali,
Bunda.”
Aku memberinya
senyuman. Bagaimanapun aku tak ingin membantahnya, meskipun bagiku hal itu
sangat tidak masuk akal.
“Lalu, apa yang
dilakukan binatang-binatang itu, Ndra?” aku malah jadi penasaran.
“Mmm, sama seperti
penjual lainnya, Bunda. Binatang-binatang itu juga berdiri di dekat barang-barang
yang ada di depannya.”
Susah payah aku
menahan tawa. “Binatang-binatang itu juga berjualan maksudmu?”
Putriku mengangguk.
“Bunda percaya?”
Kuhela napas.
Kupermainkan mata. “Bagaimana ya? Apa Bundamu harus percaya?”
“Ya terserah Bunda
saja.”
“Tapi, Ndra masih
berani kalau misalnya hari Minggu depan kita ke pasar lagi?”
Anakku menggeleng.
“Kalau begitu,
bagaimana mungkin Bunda mau percaya? Bagaimana kalau hari Minggu depan kita ke
pasar lagi, lalu Ndra tunjukkan kepada Mama yang mana ularnya, keranya,
babinya....” kugantung kalimatku untuk menanti reaksinya.
Sandra nampak
menimbang-nimbang.
“Bagaimana ya?” ia
seolah bertanya kepada dirinya sendiri.
“Binatang-binatang
itu tidak garang, bukan? Mereka kan tidak menggigit kamu, tidak...”
“Ya, tidak, Bunda.”
“Kalau begitu, hari
Minggu depan kita ke pasar lagi. Setuju?”
Putriku mengangguk
berat.
***
Meskipun disaput
rasa khawatir, hari Minggu berikutnya kubawa Sandra kembali ke pasar. Kusyukuri
kali ini dia benar-benar tak lagi memperlihatkan rasa takutnya yang luar biasa
seperti pekan sebelumnya. Sesekali dia berjingkrak terkejut ketika seorang
pedagang tiba-tiba menegurnya, mengajaknya bersalaman, atau menjawil pipinya.
“Kenapa kamu?” aku
bertanya ketika dia berlari dan kemudian seperti coba menyembunyikan dirinya
sesudah seorang pedagang menjawil pipi. Dia tak menjawab.
Sekali waktu, Sandra
juga nampak begitu akrab dengan salah seorang pedagang membuat aku justru
merasa khawatir dan memberinya isyarat dengan mataku agar dia menjauh. Pada
pedagang berikutnya, dia juga nampak asyik berada di belakang membuat si pedang
sendiri merasa risih. Namun, pada kali berikutnya, Sandra juga tak berani
mendekat sambil terus menekan hidungnya dan membiarkan aku berhadapan sendirian
dengan si pedagang. Karena itu, sambil terus berbelanja, dadaku dipenuhi
berbagai pertanyaan. Apa saja sebenarnya yang sedang dilihat putriku? Apakah di
pasar ini berkeliaran hewan-hewan seperti yang dikatakannya?
Aku mengajak Sandra
pulang setelah kedua tanganku dipenuhi barang-barang kebutuhan dapur.
“Akhirnya...” Sandra
mengempaskan tubuhnya di kursi mobil di sebelahku. Seolah beban berat yang
mengimpitnya tiba-tiba saja sirna.
“Kok akhirnya?” aku
bertanya sambil menarik sabuk pengaman. “Pakai sabuk pengamanmu, Nak.”
“Akhirnya aku
bebas, Bunda,” katanya. Tangannya menjemba tisu dan menggosok-gosokkannya pada
dahinya.
“Bebas dari apa?
Apakah kamu masih melihat banyak binatang?” aku penasaran.
Sandra mengangguk.
“Tadi aku kaget
sekali, Bunda, waktu pipiku dijawil sama...”
“Sama...”
“Itu tadi kera,
Bunda. Aku takut kuku-kukunya melukai pipiku.”
Aku ingin tertawa.
Setelah berdiam sesaat, kuajukan lagi pertanyaan, “kalau yang satu tadi, yang
kamu kelihatannya sangat akrab?”
Sandra nampak agak
kemalu-maluan.
“Kok senyam-senyum
begitu?” aku jadi penasaran karena dia tak segera menjawab.
“Kalau yang itu
anjing, Bunda. Aku kan suka sama anjing. Dan dia baik sekali,” Sandra akhirnya
menjawab.
Tawaku hampir
pecah.
“Nah, kalau yang kamu
terus berada di belakangnya? Itu apa?”
“Mmm, kalau yang
itu ular besar yang baik, Bunda. Aku sering melihat di televisi ular besar yang
jadi mainan. Jadi, aku tidak takut.”
Tawaku benar-benar meledak.
Kegelianku membuncak, menumpuk. Susah payah kutahan. Aku tak ingin di matanya
seperti orang yang meremehkannya dan menganggapnya tengah membual.
“Lalu, tadi Bunda
lihat juga kamu menjauhi seorang pedagang sambil menutup hidungmu. Nah, yang
itu apa?”
Sandra
mempermainkan kedua belah bibirnya. “Itu....itu...babi hutan, Bunda. Dia
mendengus-dengus. Busuk sekali baunya....”
Akhirnya tawaku
pecah berderai. Ketika kuhentikan buncak kegelianku saat berikutnya, kudapatkan
Sandra tengah cemberut. Dia lalu menyambar telepon genggamku dan menghubungi
ayahnya.
“Ayah sedang apa?”
dia bertanya. Sesaat kemudian dia mengoceh lagi. Mengulangi cerita yang baru
saja dia katakan kepadaku. Sesekali dia terdiam. Sesekali dia cemberut.
Sesekali nampak marah.
“Ah, ayah payah,”
katanya ketika mobil berbelok ke sebuah rumah makan. Aku memang berniat membeli
makanan jadi untuk makan siang hari ini. “Ayah sama saja seperti Bunda, tidak
percayaan,” katanya seraya menutup telepon dan meletakkannya begitu saja di
pangkuannya. Namun, ketika aku selesai memarkir kendaraan, telepon itu
berdering. Buru-buru Sandra mengambilnya dan memberikannya kepadaku. “Dari
ayah,” katanya dengan wajah masih disaput cemberut.
Kudengar suara
sisa-sisa tawa suamiku. Ia lalu menceritakan ulang apa saja yang baru saja
dikatakan putrinya sendiri. Kudengarkan sambil tetap duduk di kursi mobil.
Mesin masih kunyalakan.
“Jadi, apa pendapat
ayah?” aku bertanya setelah suamiku selesai bicara.
“Aku tak punya
pendapat. Tidak ingin berpendapat,” jawab suamiku. “Biarkan saja Ndra
berpendapat seperti itu, sesuai dengan apa yang mungkin benar-benar dilihatnya.
Bisa saja benar, bisa saja semacam halusinasi atau ilusi. Atau apapunlah. Dia
masih kanak-kanak. Dia mungkin saja punya kemampuan melihat yang berbeda seperti
kita, melihat dengan tanda petik. Kalau memang benar seperti apa yang
dilihatnya, ya itulah dunia. Penuh dengan segala pernak dan perniknya. Tak usah
terlalu dipikirkan. Sekarang sedang di mana?”
“Di depan sebuah
rumah makan. Bunda mau beli makanan jadi. Inah sedang kurang enak badan,” aku
menjawab.
“Mmm, nanti malam
Ayah akan bawa makanan jadi juga untuk makan malam. Pukul delapan mungkin Ayah
sudah tiba di rumah. Hati-hati ya,” kata suamiku yang terpaksa bekerja pada
hari Minggu untuk membereskan beberapa tugas yang belum diselesaikannya pada
hari Sabtu.
Terik matahari
serasa memanggang ketika aku dan Sandra keluar dari mobil. Sandra berlari ke
dalam rumah makan langganan kami untuk menghindari panggangan sinar matahari.
Aku menyusul di belakangnya.
***
Seperti katanya,
suamiku tiba di rumah sekitar pukul delapan malam sambil membawa sejumlah
tentengan di tangannya. Inah buru-buru menyambar dan membawanya ke meja makan. Sandra
dengan cepat menarik tangan ayahnya untuk menemaninya mengerjakan PR seperti
kebiasaannya.
“Yah!” aku sedikit
berteriak ketika makan malam selesai disiapkan Inah. “Makan malam sudah siap!”
Suamiku muncul
beberapa saat kemudian.
“Mana, Ndra?” aku
bertanya kepadanya.
“Tengah membereskan
buku-bukunya,” jawab suamiku seraya menarik kursi.
Lima menit kemudian
putriku muncul untuk ikut makan malam. Sandra tak pernah melewatkan saat-saat
makan malam bersama karena ayahnya kerap melucu sambil makan. Aku sebenarnya
tidak begitu suka dengan kebiasaan suamiku, tapi aku tak bisa tak suka pada apa
yang sangat disukai putriku.
“Jangan dimakan dulu, Ayah!” dia setengah
menjerit tiba-tiba. Berdiri terpaku di ujung meja. Aku dan suamiku tergagap.
Dan diam. Menunggu.
“Itu bukan nasi,
Yah,” katanya kemudian.
“Lho, jadi ini
apa?”
“Belatung!” Tanah
Kusir, 270311
0 komentar:
Post a Comment