Wednesday, June 25, 2014

Luter tengah membaca buku komik di kamarnya ketika ia mendengar ayahnya memanggil. Ketika ia keluar, ia menemukan ayah dan ibunya duduk di ruang tamu. Seperti biasa, kedua kaki ayahnya berada di atas meja. Berselonjor. Di atas meja Luter melirik cangkir kopi. Isinya tinggal setengah. Artinya, sudah cukup lama ayah dan ibunya duduk berdua di sana.

Di luar, Luter mendengar suara-suara domba tengah digiring. Tentu di belakangnya ada Pucang, si pemilik domba yang tak pernah lelah mengawasi hewan-hewan peliharaannya. Hari hampir senja dan matahari yang lelah mulai mencari tempat peristirahatannya. Luter tahu, pada dasarnya matahari itu tak pernah benar-benar berhenti bersinar. Jika ia berhenti menyinari kampungnya, maka matahari itu memberi terang daerah lain atau negeri lain. Itu kata ayahnya. Jika di negerinya hari beranjak malam dan bintang-bintang beradu kerlip di ketinggian langit, maka daerah atau negeri lain hari beranjak siang. Begitulah selalu.

Pelan-pelan Luter meletakkan pantatnya di sisi ibunya. Luter selalu merasa nyaman di sisi ibunya, walaupun ayahnya pun tak pernah memukulnya sepanjang hidupnya –yang ini Luter tahu karena ayahnya bekas petinju.

“Bu,” Darkman memandang istrinya.

Kalimat itu cukup memberi isyarat agar ibunya pergi dari ruangan itu. Ester selalu paham nada suara dan makna tatapan mata suaminya. Jadi, ia pun beranjak pergi, meninggalkan Luter dan ayahnya. Luter merasa sedikit kesal karena ia merasa seperti seseorang yang kehilangan mainannya. Namun ia diam saja.

“Ayah ingin kamu hentikan semuanya,” Darkman memulai ucapannya. Suaranya tanpa tekanan.

“Maksud ayah?”

Darkman menarik kaki kanannya, menggaruk betisnya seolah ada sesuatu yang membuat kulitnya terasa gatal. Sembari kembali berselonjor, ia mengatakan, “rasanya ayah tak perlu menjelaskan. Opsir polisi Darkon dan Samun yang mencegatmu menjelaskan banyak hal kepada ayah.”

Luter menggaruk-garuk lengan kirinya meskipun ia tak benar-benar merasa gatal.

“Bagaimana ayah bisa tahu?”

“Ayah tahu. Itu saja. Tak perlu ayah jelaskan lagi.”

“Jadi?” Luter malah ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

“Hidup ini bisa menjadi sulit jika kita mempersulitnya. Jadi sederhana jika kita menginginkannya,” kata ayahnya.

“Ayah ingin mengatakan sesuatu yang mungkin sudah saatnya kamu tahu meskipun kamu sekarang baru kelas 9,” lanjut ayahnya ketika Luter kehilangan semangat dengan topik pembicaraan.

“Soal apa?”

“Sedikit masa lalu ayah.”

“Soal ayah bekas petinju?”

“Itu kamu sudah tahu.”

“Jadi?”

Darkman diam sesaat, seperti coba mengumpulkan bahan-bahan pembicaraan yang ingin ia sampaikan kepada anaknya. Pada titik ini, ia sebenarnya merasa ragu apakah ia ingin mengatakan apa yang ingin disampaikannya sore ini, atau membiarkannya tetap tersimpan sebagai rahasia.

“Ya, ayah memang ingin mengatakan satu hal, ayah tahu ada apa di balik lapangan tenis dan kolam renang di bukti itu,” Darkman akhirnya berkata dalam satu tarikan napas.

“Maksud ayah, ada sesuatu di bawahnya?” tanpa sadar Luter sudah berada di sisi ayahnya. Ia tak sadar telah melompat dari kursi tetap duduknya semula.

Darkman membelai rambut anaknya.

“Ayah benar-benar tahu?” segunung rasa penasaran membuncah dalam dada Luter.

“Tahu.”

“Apa itu, Yah?”

Darkman tertawa kecil. “Maaf ayah mengecewakanmu, ayah takkan mengatakan yang itu.”

“Maksudnya?”

“Ayah tahu ada sesuatu di sana, tapi sayangnya ayah tak ingin mengatakannya.”

Luter mendadak merengut. “Itu sama saja bohong dong, Yah. Ayah tahu, tapi ayah tak ingin mengatakannya.”

Darkman kembali tertawa kecil. Ia sendiri tak mengerti makna tawa kecilnya itu.

“Ayah mengatakan ini hanya untuk mengingatkanmu.”

“Mengingatkan?”

“Ya, ayah tak ingin kamu seperti ingin mencari tahu apa yang ada di sana. Biarkan saja mereka dengan dunia mereka. Dunia kita dan dunia mereka sangat berbeda. Mereka orang-orang tak tersentuh. Itu yang ayah tahu.”

“Terus?”

“Ayah ingin kamu hidup normal seperti teman-temanmu yang lain. Bermain galasin, layang-layang, gundu, petak umpet, atau yang lainnya. Tak usah melakukan sesuatu yang membuat mereka seperti terusik.”

Luter menyandarkan kepalanya pada dada ayahnya. Ia merasakan ayahnya bernapas teratur. Luter senang sekali rambutnya dibelai-belai ayahnya.

“Boleh aku bertanya satu lagi, Yah?”

“Boleh.”

“Dari mana ayah tahu?”

“Benar-benar mau tahu, atau sekadar mau tahu, atau iseng-iseng mau tahu?”

“Intinya tahu. Supaya aku nggak penasaran.”

“Ayah dulu bekerja di sana?”

“Betul? Kenapa ayah berhenti?”

Darkman kali ini benar-benar tertawa mendengar pertanyaan anaknya. “Tadi katanya cuma mau bertanya satu kali lagi.”

“Ah, ayah payah!”

Luter melompat dari pangkuan ayahnya, kemudian berlari kecil ia pergi menuju ke kamarnya di lantai dua rumah sederhana di desa itu.

“Ingat apa yang ayahmu bilang?” tanya ayahnya. Setengah berteriak.

“Nggak janji, Yah.”

“Apa?”

Luter sudah menghilang di balik pintu kamarnya. (Bersambung)
KOMANDAN polisi Desa Bukit Siguncang Gyorgi gerah. Selembar kertas berukuran besar tergeletak di atas mejanya. Di atas kertas itu tertera gambar yang dibuat asal-asalan serupa peta.
“Saya menemukan titik-titik yang mencurigakan ada dalam hutan Bukit Siguncang. Kalau Bapak sempat, sudilah Bapak periksa. Saya khawatir seseorang atau sekelompok orang menguburkan mayat-mayat di sana. Untuk sementara, saya menemukan tujuh titik...”

Demikian bunyi surat itu.

“Darkon!” ia memanggil seseorang. Setengah berteriak.

“Ya, Ndan!” seorang polisi lain masuk. “Siap!”

“Kau tahu siapa yang mengirimkan surat ini, Kon?” tanya si komandan polisi.

“Tidak, Ndan.”

“Kau mencurigai seseorang?”

“Belum, Ndan.”

“Coba kau lihat baik-baik, periksa baik-baik. Setelah itu, pikirkan langkah apa yang mungkin kita lakukan.”

“Siap, Ndan,” opsir Darkon memerhatikan isi kertas yang disodorkan kepadanya.

Keduanya tak bersuara.

“Sudah?” Komandan Gyorgi bertanya.

“Sudah, Ndan.”

“Laksanakan!”

“Siap, Ndan!”

*

Luter melangkah sendirian setelah melepas Sestina di sebuah kelokan jalan sebelumnya. Tas sekolah di punggungnya terasa kian berat ketika kaki-kaki kecilnya menapaki jalan mendaki.

Ketika ia kemudian menemukan jalan mendatar, Luter mendengar namanya dipanggil dua orang opsir polisi. Di dekat mereka berdiri sebuah sepeda motor trail yang biasa digunakan di daerah berbukit-bukit.

“Ke sini, Luter!”

Luter menghampiri tanpa perasaan apa-apa. Semilir angin sedikit menyejukkan tubuhnya pada terik siang yang terasa menyengat.

“Ada apa?”

Darkon memberikan selembar kertas yang tadi diserahkan Komandan Gyorgi kepadanya.

“Apa ini?” Luter bertanya. Ia merasakan ada getar di dadanya.

“Coba perhatikan,” opsir polisi yang satu bersuara. Tanpa memandang Luter.

Luter mengambil kertas itu. Membuka dan memerhatikan isinya.

“Kau yang bikin, bukan?” pertanyaan opsir Darkon langsung menghunjam.

“Bikin apa? Ini?”

“Nggak usah pura-pura, Luter.”

“Mengapa kalian pikir aku yang bikin?”

“Tidak ada anak lain yang sepertimu.”

“Kalian memfitnah.”

Kedua opsir polisi itu tersenyum sinis.

“Apakah ayahmu tidak pernah mengingatkanmu?”

“Soal apa?”

“Jangan pernah bermain api...”

“Apa maksud kalian sebenarnya?”

“Boleh lihat isi tasmu?” Darkon menyambar tas di punggung Luter.

Luter mempertahankan properti miliknya dengan cara berlari memutar. Darkon terus berusaha mengambil tas sekolah Luter. Namun, keriuhan itu segera terhenti ketika tiba-tiba Darkman menghentikan sepeda motornya di sana.

Dengan sigap ia menyambar krah baju bagian belakang Darkon. Sebuah tinju siap dilayangkannya. Opsir polisi satunya sigap memegangi tangan Darkman.

“Sabar! Sabar! Tenang! Tenang!” ia berteriak.

Darkman melepaskan jenggutannya. Darkon merapikan pakaiannya. Ia merutuk-rutuk.

“Apapun urusan kalian dengan anakku, hadapi aku dulu,” Darkman berkecak pinggang. Matanya tajam menghunjam, memandang berpindah-pindah kepada dua opsir polisi di hadapannya.

“Kuingatkan, jangan pernah sentuh anakku. Bilang kepada Gyorgi!”

Kedua opsir polisi itu terdiam. Keduanya tahu, sebagai bekas petinju, satu pukulan Darkman akan membuat mereka langsung terkapar.

“Pergi sekarang!” Darkman membentak.

Dengan cepat, kedua opsir polisi pergi. (Bersambung)
MINGGU pagi selalu menjadi hari bebas untuk Luter. Ia boleh melakukan apa saja sesukanya. Tanpa kewajiban mencari kayu, atau merapikan taman di depan rumah seperti membuang bunga-bunga yang rontok atau ranting-ranting daun yang gugur.

Ia juga tak perlu pergi ke ladang jagung ayahnya karena pada hari Minggu ayahnya tak ingin mengeluarkan keringat di ladang. Pengawasan kebun seluruhnya diserahkan kepada Suspra dan Tamir. Pada hari lain, Luter mendapat tugas mengantarkan makanan untuk ayahnya bersama Suspra dan Tamir. Pada hari Minggu, Suspra dan Tamir harus membawa makanannya sendiri karena Darkman juga melarang Luter ke kebun.

Selalu menjadi kesenangan Luter naik ke dahan pohon tinggi di tengah hutan di lereng gunung dengan teropong di punggungnya. Dari atas ketinggian pohon ia bisa melihat jauh ke bawah, ke bukit Siguncang, bukit yang tak pernah bisa didekati siapa pun sejak di atasnya dibangun tiga lapangan tenis dan sebuah kolam renang.

Kata ayahnya, seorang konglomerat dan pejabat negeri membeli bukit itu dari pemerintah daerah untuk pembangunan lapangan tenis dan kolam renang. Pemerintah memberi izin sepanjang tidak digunakan untuk pembangunan vila.

“Namanya Riami,” kata ayahnya menyebut sepenggal nama sang pejabat dan konglomerat terpandang di kota.

“Riami apa?”

“Ayah tidak tahu. Untuk apa juga tahu? Tidak penting.”

Ketika itu Luter tak membayangkan seberapa banyak uang yang harus dibayarkan untuk membeli bukit yang diapit empat gunung tinggi di sekitarnya itu. Mungkin saja uangnya penuh sekamar orangtuanya. Belum lagi uang untuk membangun lapangan tenis dan kolam renang di atasnya.

“Jadi orang kaya itu enak ya, Yah...” kata Luter.

“Belum tentu. Banyak duit pun bukan tanpa masalah.”

“Tapi lebih baik punya masalah tapi banyak uang, dari pada banyak masalah tapi tak banyak uang...”

“Hus!”

Luter mengambil teropongnya. ‘It’s showtime,” katanya dalam hati, menirukan slogan pertandingan bola basket di sebuah benua nun jauh di sana. Sebuah senyum merekah dari bibirnya. Baginya, menyaksikan para pejabat, entah siapa saja mereka, menjadi hiburan bagi Luter.

Dari ayahnya ia tahu berapa ukuran sebuah lapangan tenis. Ayahnya memang pecinta olahraga. Sebelum menikah dengan ibunya, ayahnya pernah menjadi atlet tinju tingkat lokal. Ayahnya petinju kelas berat ringan. Tapi, Luter tak ingin jadi petinju seperti ayahnya dulu. Tubuhnya terlalu kerempeng. Lagi pula, kata ayahnya, di negerinya, seorang atlet kurang mendapat penghargaan dari pemerintah daerah apalagi dari pemerintah pusat. Begitu ia pensiun sebagai atlet, ia tak lagi tak punya waktu untuk memulai karier lain yang bisa menghasilkan uang, padahal hidup butuh makan dan untuk makan manusia membutuhkan uang.

Dan kini ia tengah ingin meneropong. Bukan meneropong masa depan, tapi meneropong sungguhan. Seperti dilakukannya setiap hari Minggu, hari di mana ia bisa benar-benar menjadi dirinya sendiri.

Dengan bantuan teropong itu Luter bisa melihat dengan agak jelas orang-orang dengan pakaian-pakaian bersih dan berwarna-warni lembut bermain tenis. Mereka tak cuma laki-laki. Ada juga perempuan. Laki-laki bermain melawan perempuan. Luter bisa menduga mereka tertawa-tawa, meskipun ia tak bisa mendengar suaranya. Jaraknya terlalu jauh.

Di ujung paling kiri, sejumlah orang tengah asyik berenang. Airnya berkecipakan. Luter membayangkan dirinya berada di sana. Mengayunkan raket tenis yang harganya mahal. Setelah lelah dan berkeringat, lalu nyemplung ke kolam renang. Bersama pula wanita-wanita cantik. Tubuh-tubuh mulus. Tanpa celak. Tanpa bekas luka. Lalu melintas wajah Sestina, gadis yang diincarnya. Apakah ia juga mulus? Ah, mudah-mudahan kulitnya pun mulus seperti gadis-gadis kota, Luter membatin.

Teropong terus digerakkan Luter. Ke sudut sebuah bangunan kecil di sudut lapangan tenis. Ia melihat beberapa lelaki kekar duduk-duduk di sana. Ia ingat, laki-laki seperti itulah yang membuang sesosok tubuh di semak-semak belukar di dalam hutan.

Ia kemudian mengalihkan teropongnya ke kolam renang. Sesosok tubuh berenang di tengah kolam. Tubuh seorang wanita jika dilihat dari posturnya. Beberapa saat lamanya Luter mengikuti gerakan renang wanita itu. Sampai kemudian ia menyentuh sisi kolam dan berbalik. Hm, tubuhnya indah sekali, pikir Luter. Ia berharap kelak tubuh Sestina pun akan seindah itu.

Dari sana, ia kembali meneropong sekelompok laki-laki kekar di sudut di belakang lapangan tenis. Kali ini, Luter merasa jantungnya berdetak. Dua laki-laki kekar itu nampak memegang teropong seperti dirinya. Keduanya seperti tengah meneropong ke arahnya. Agak lama juga Luter mengawasi mereka.

Lalu, mereka seperti mengambil sesuatu. Mengarahkan sesuatu ke arahnya. Detak jantung Luter makin keras ketika ia menyadari salah satu dari pria kekar itu tengah mengarahkan senjata ke arahnya. Ya, senjata. Luter dengan cepat melepaskan teropong yang talinya dikalungkannya di lehernya. Dengan cepat ia turun dari ketinggian pohon itu.

Ia kemudian mendengar suara letusan dari kejauhan. Sesat berikutnya ia mendengar sesuatu menerpa daun-daun pohon di dekatnya. Beberapa kali sesuai suara letusan dari kejauhan. Itu peluru, pikir Luter. Mereka benar-benar menembakkan senjata ke arahnya.

Luter makin cepat turun. Ia harus lari dari tempat itu karena siapa tahu satu atau dua dari orang-orang itu mengejarnya dengan motor-motor trail dan kemudian menangkapnya.

Luter terengah-engah ketika kakinya menjejakkan kaki di bawah pohon di lereng gunung itu. Ia kemudian memutuskan pulang dengan cara berjalan agak memutar. Tak lupa ia melemparkan di dalam hutan kaus hitam yang dikenakannya dan melangkah tergesa hanya dengan kaus kutang berwarna putih.

Sesat berikutnya ia sudah tiba di kebun jagung milik ayahnya dan menemukan Suspra tengah memeriksa jagung-jagung yang mulai membesar.

“Ah, tumben datang, Ter?” tanya Suspra tanpa menoleh.

Luter tak ingin buru-buru menjawab, khawatir Suspra menangkap suaranya yang bergetar.

“Ngapain ke mari?” Suspra, laki-laki berusia hampir 60 tahun itu kembali bertanya.

“Iseng saja, Om,” jawab Luter akhirnya.

Memetik dua buah jagung yang nampak ranum, Luter melanjutkan langkanya pulang. Ia masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Di luar, ia mendengar ayahnya tengah berbincang dengan seseorang. Luter mengintip dari gorden di ruang depan. Dadanya kembali bergemuruh melihat dua pria kekar bersama ayahnya.

Melihat postur tubuhnya, merekalah sahabat-sahabat Jonas. Merekalah orang-orang yang barusan diteropongnya. Kini, mereka dengan sangat cepat sudah berada di rumahnya. “Untung aku lewat belakang,” Luter membatin.

“Luter!” Luter mendengar ayahnya memanggilnya.

Luter tak segera menyahut.

“Ter! Luter!” ayahnya mengulangi panggilan.

“Ya, Yah!” Luter ragu-ragu membuka pintu.

Begitu ia keluar, kedua laki-laki kekar itu mengawasinya.

“Nah, kalian lihat, anakku ada di rumah. Nggak ke mana-mana,” kata ayahnya.

“Ada apa, Yah?” Luter bertanya kepada ayahnya. Seolah mengabaikan tatapan dua pasang mata yang tengah dihunjamkan ke arahnya.

“Tidak, tidak ada apa-apa. Ayah cuma ingin meyakinkan bahwa kau tak ke mana-mana. Sudah masuk sana!” ayahnya mengakhiri kalimatnya dengan sebuah perintah.

Luter buru-buru masuk.

Namun, dari dalam kamarnya sendiri, Luter kembali mengintip kedua pria tamu ayahnya itu. Luter melihat salah satu dari mereka menunjuk-nunjuk ayahnya sebelum pergi.

Sepeninggal kedua orang itu, ayahnya kembali mencarinya.

“Mana teropong itu, Ter?” tanya ayahnya.

Luter menunjuk ke dalam lemari di dalam kamarnya. Ayahnya mengambil teropong itu. Beberapa saat kemudian Luter mendengar suara berderak. Ayahnya menghancurkan teropong satu-satunya miliknya. (Bersambung)

ESTER tengah menutup kepalanya dengan kerudung hitam, melengkapi gaun serbahitam yang dikenakannya ketika Luter memasuki rumah dari sekolah.
“Melayat ke mana, Bu?” Luter bertanya sembari melepas sepatu yang sudah terasa lengket di kakinya.

“Om Jon...Om Jonas,” jawab ibunya.

“Om Jonas? Siapa yang meninggal?” Luter meneruskan tanya.

“Ya dia yang meninggal,” kata ibunya.

“Kenapa katanya? Sakit apa?”

“Simpang siur. Ada yang bilang jatuh dari pohon tinggi. Ada yang bilang dibunuh lantas jenazahnya dibuang di hutan.”

“Kau mau ikut?” ibunya melanjutkan.

“Untuk apa?”

“Kau kan kenal. Meskipun rumahnya agak jauh, tapi kau kan kenal. Dia orang baik. Banyak membantu orang, meskipun tidak terlalu kaya. Ibu pikir kau ingin lihat wajahnya untuk terakhir kalinya.”

“Baiklah. Aku ikut. Bapak?”

“Bapakmu sudah duluan.”

*

Luter berdiri tepat di sisi kanan ibunya ketika perempuan 50-an tahun itu berdiri di sisi peti jenazah.

Luter dengan jelas melihat bekas jahitan pada pipi jenazah selebar 15 sentimeter. Luter tak bersuara apa-apa. Bernapas pun hati-hati. Ia cuma memandang dengan perasaan campur aduk. Melintas begitu saja dalam benaknya bayangan ketika ia menghantamkan bagian tajam cangkul kecilnya ke pipi laki-laki yang berada di hadapannya kini.

“Luter!” teriak laki-laki itu ketika itu. “Anak setan!” ia memekik sebelum tubuhnya melayang jatuh dari ketinggian 20-an meter dari atas pohon.

Terry, istri Jonas membiarkan air matanya terus mengalir. Duduk lunglai di sisi jenazah suaminya yang sebentar lagi akan dikubur dan takkan lagi bersamanya selamanya. Sejumput rasa iba diam-diam menyelinap dalam hati Luter. Rasa sesal juga mengaduk-aduk dadanya.

Luter mengikuti langkah ibunya menghampiri Terry. Ia memeluk perempuan itu dengan erat.

“Sabar, semuanya sudah dalam kehendak yang kuasa,” Luter mendengar ibunya memberi suntikan semangat.

“Iya...aku sabar...” Terry menyahut. “Aku berharap pembunuhnya ditangkap. Diberi hukuman berat.”

Luter tak bereaksi. Membiarkan dirinya mematung di sisi ibunya. Ia tak berani menatap wajah perempuan yang tengah dirundung duka itu.

“Setiap kejahatan pasti ada balasannya, Ter. Pasti,” kata ibunya.

Ketika keduanya keluar, Luter tak melihat sosok ayahnya.

*

Menjelang sore Darkman pulang ke rumahnya dengan pakaian kotor penuh tanah. Ia baru pulang dari menguburkan jenazah Jonas.

Luter asyik di meja belajar dengan buku pelajaran bahasa Inggris. Ia mendapat tugas tampil di depan kelas sambil menceritakan kisah seorang anak yang jahat dan kemudian menjadi anak yang baik dalam bahasa Inggris. Ada bagian-bagian yang belum dihafalnya. Luter tak ingin Sestina kecewa karena ia tak hafal. Luter ingin gadis yang ditaksirnya itu bangga akan dirinya.

Selesai mandi dan membersihkan tubuh, Darkman menuju ruang tamu dan meminta istrinya membuatkannya kopi panas.

“Luter!” Luter agak tersentak mendengar panggilan ayahnya. Ia segera menutup buku pelajaran dan bergegas menghampiri ayahnya.

“Ada apa, Yah?” Luter bertanya sembari melemparkan pantatnya di kursi di hadapan ayahnya.

“Ndak begitu penting juga. Ayah cuma ingin bertanya,” Darkman menghirup kopi panasnya.

“Soal?”

“Kemarin kamu ke hutan?”

“Iya,” Luter menjawab dengan setengah suara. Ia mulai bertanya-tanya ke mana arah pembicaraan ayahnya.
“Kamu bawa cangkul kecil juga?”

“I...iya...” Luter merasa ada hentakan-hentakan gemuruh kecil di dadanya.

“Untuk apa?” tanya ayahnya. Tanpa memandangnya.

“Tidak untuk apa-apa. Cuma...”

“Cuma apa?”

“Apa itu penting, Yah?”

“Bisa penting, bisa juga tidak.”

“Maksud ayah?”

“Makanya kamu jawab saja.”

“Aku menemukan lubang gangsir, jangkrik besar. Aku penasaran dan ingin menggalinya...” jawab Luter ragu-ragu.

“Benar begitu?”

“Benar, Yah?”

“Kenapa kamu kemudian mencuci cangkul itu begitu bersih?”

“Apa salah?”

“Tidak. Ayah cuma tanya. Siapa tahu kamu punya alasan khusus.”

“Tidak juga. Cuma ingin cangkul itu bersih saja.”

Darkman mengambil gelas kopinya. “Ya, sudah. Belajar lagi sana.”

*

Bayangan wajah Jonas kembali melintas dalam benak Luter ketika ia coba memejamkan matanya.

Diawali ketika ia memergokinya berada di atas ketinggian pohon sekitar 20-an meter. Jonas takkan menemukannya andai saja tak ada ranting pohon yang jatuh dan kemudian mengenai kepalanya. Ketika ia menoleh ke atas pohon, ia melihat Luter dan membujuknya turun.

“Kau rupanya anak nakal,” katanya. “Ayo turun. Aku tidak akan menyakitimu. Aku cuma ingin tanya sesuatu.”

Luter gemetar di atas pohon. Rasa takut memenuhi seluruh rongga dadanya. Ia yakin Jonas, meskipun dikenalnya dan mengenalnya, akan melakukan sesuatu yang mungkin tak pernah dibayangkannya. Karena itu ia membiarkan dirinya tetap berada di atas pohon.

Setelah lama menunggu, Jonas akhirnya ikut memanjat pohon untuk memaksanya turun. Meskipun usianya sudah hampir setengah abad, otot-ototnya begitu kekar dan ia nampak dengan mudah naik mendekati Luter.

“Tak usah takut, Luter. Aku kenal kamu. Kamu kenal aku. Aku tahu ayahmu. Kita bertetangga,” katanya sambil terus naik.

“Aku ingin tahu apakah kamu yang menggali-gali di sana?” ia bertanya. Dan terus naik.

Dalam tubuh gemetar, Luter tak menjawab. Sampai kemudian tangannya menyambar kakinya.

“Ayo turun, Luter,” ia seperti membujuk. “Percayalah, aku tidak akan menyakitimu. Apa kau pikir aku pembunuh?”

Luter bertahan. Sesaat kemudian, tangan itu menarik kakinya dengan keras. Luter tetap bertahan. Kedua tangannya mendekap batang pohon dengan erat. Ketika tarikan tangan Jonas makin keras, Luter mengambil cangkul kecil yang disangkutkannya di ikat pinggangnya. Dengan cepat ia menghantamkan bagian tajam cangkul itu ke wajah Jonas. Laki-laki itu memekik keras.

“Luter!” teriak laki-laki itu ketika itu. “Anak setan!” ia memekik sebelum tubuhnya melayang jatuh dari ketinggian 20-an meter dari atas pohon.

Sesaat kemudian Luter mendengar suara tubuh berdebum. Beradu dengan tanah. Tak bergerak-gerak lagi.

“Ter,” tiba-tiba Luter menemukan ayahnya sudah berada di sisinya. “Ayah tahu apa yang kamu lakukan kemarin siang itu. Ayah tahu cangkulmulah yang menghantam pipi si Jonas. Sekarang, lupakan peristiwa itu supaya kamu dapat tidur. Ini tetap jadi rahasia kita berduua.”

Ayahnya mendekap tubuhnya. Luter merasa hatinya damai.

Tuesday, June 17, 2014

SEBUAH ranting kecil dan kering jatuh tepat di dahi Luter. Ia melompat bangun karena baru saja bermimpi seekor ular jatuh di atas kepalanya. Gelagapan ia mengibas-ngibaskan kepala untuk membuang ular kecil yang terasa masih berada di atas kepalanya. Sesaat kemudian ia baru menyadari hari hampir gelap dan ia masih berada di tengah hutan di atas gunung. Tak ada lagi jejak sinar matahari. Sorotnya terhalang gunung.

Luter menyerapahi dirinya karena terlalu lelap tertidur di hutan padahal ia tahu ibunya tengah menunggu ia pulang membawa kayu-kayu kering untuk memasak. Rasa kantuk dan lelah membuatnya coba memejamkan mata sejenak di bawah sebatang pohon pinus. Kayu-kayu kering yang sudah dikumpulkannya teronggok tak jauh dari ujung kakinya. Ketika itu matahari baru condong ke barat dan ia yakin bisa segera pulang sebelum waktu ashar tiba.

Tapi, kini hari hampir gelap. Luter yakin ibunya akan marah besar karena kelalaiannya. Ia merutuk-rutuk sembari membereskan kayu-kayu kering yang sudah dikumpulkannya. Ia ingin segera tiba di rumah dan siap menerima kemarahan ibunya. Atau ayahnya.

Namun, sesaat kemudian telinganya mendengar suara-suara aneh dari balik rerimbun lebat hutan di belakangnya. Luter kembali duduk dan berdiam diri. Ia ingin memastikan suara itu bukan suara hewan liar yang mungkin saja masih tersisa di hutan itu dan sangat mungkin akan memangsanya.

Kengerian melintas dan mengaliri darah dalam tubuh Luter. Dalam usia 14, ia tentu tak mungkin bisa bertahan jika yang datang adalah seekor harimau yang kerap mencari makan di malam hari.

“Sudah,  gali...”

Luter bernapas lega. Itu suara manusia. Tapi siapa?

Pelan-pelan ia bangkit untuk mencari tahu siapa mereka. Mengendap-endap ia coba mendekat. Terus mendekat. Susah payah ia menghindari kakinya dari kemungkinan menginjak sesuatu yang akan menimbulkan suara.

Dari celah-celah rerimbun hutan Luter melihat dua pria dewasa berdiri. Satu orang lainnya terdengar menggali. Suara cangkul terdengar dengan jelas. Luter menahan napas. Ia tak ingin ketahuan tengah mengintai. Ia tak ingin tertangkap karena ia juga tahu mereka bukan orang-orang yang dikenalnya di kampungnya. Postur tubuh mereka dari belakang nampak jelas bukan orang asli kampungnya.

Cukup lama Luter menunggu. Membiarkan hari makin gelap. Luter benar-benar tak berani bergerak.

“Ayo tanam. Kubur,” Luter mendengar suara lagi.
Lalu, ia melihat sesosok tubuh, ya sosok tubuh, diceburkan ke dalam lubang. “Buk!” Luter mendengar suaranya seiring dengan rasa takut yang kian mencengkamnya.

“Sudah. Uruk!” terdengar suara lagi.

Kini, ketiga orang itu nampak tergesa-gesa menguruk tubuh tak berdaya yang barusan diceburkan. Luter tetap diam. Bergeming dalam rasa takut yang menjadi-jadi.

“Sekarang beri ranting-ranting,” terdengar lagi perintah.

Terdengar suara-suara ranting-ranting pohon ditebang. Luter tak lagi berani mengintai. Ia cuma duduk dalam diam. Tubuhnya terasa gemetar.

“Beres?”

“Beres, Bos!”

“Coba periksa di sekitar sini. Jangan-jangan ada yang lihat.”

Luter ingin kencing mendengar perintah itu. Ia siap-siap kabur untuk menghindari penangkapan. Jika tertangkap, Luter yakin ketiga orang itu tak sungkan membunuhnya.

“Nggak mungkinlah, Bos. Gelap begini. Mana ada orang kampung keliaran di hutan.”

“Lu yakin? Ya sudah. Ayo balik!”

Luter menyapukan kedua tangan pada dadanya. Mengusir rasa tegang ketika kesejukan hutan dan rambat malam tak mampu mengusir butir-butir keringat dingin yang membasahi sekujur tubuhnya.

*

Pulang dari sekolah, Luter mengambil radio transistor kecil. Tangannya menari-nari mencari gelombang stasiun radio yang sekiranya menyiarkan berita orang hilang. Siang ini ia tak ingin mendengar lagu-lagu.

Tapi, ia tak mendapatkan apa yang dicarinya sampai ibunya masuk ke dalam bilik kecil kamarnya.

“Cari apa to, Ter?”

“Nggak, Mak.”

“Aneh. Pindah-pindah terus. Tumben.”

Sesaat kemudian, ibunya kembali dengan sepiring nasi untuknya. Dengan sepotong lauk berupa ikan sepat goreng kering. Tak ada sayur.

“Terima kasih, Mak.”

“Segera makan, nanti keburu dingin. Setelah itu sholat. Sholat jangan ditinggalkan. Biar hidup susah, kita harus selalu bersyukur. Banyak orang yang lebih susah dari kita.”

“Iya, Mak.”

“Habis itu cari kayu kering lagi. Besok kan Jumat. Nggak boleh ke hutan. Jadi hari ini saja ke hutannya.”

“Iya, Mak.”

*

Pada hari ketiga, Luter bergegas masuk ke dalam hutan. Meski dadanya dipenuhi rasa takut, ia tak bisa menghalangi kakinya untuk melangkah ke tempat di mana ia menemukan tiga laki-laki kekar yang sebelumnya menguburkan sesuatu. Luter ingin memastikan sesuatu itu apa. Setelah tiga hari menimbang-nimbang dan mengumpulkan keberanian, Luter tak ingin menunda-nunda untuk mendapatkan jawaban yang diinginkannya.

Beberapa saat kemudian ia sudah tiba di tempat tiga pria bertubuh kekar menguburkan sesosok tubuh. Luter memeriksa. Ia melihat tanah merah. Tanpa gundukan. Ditutupi ranting-ranting.

Luter menyibak ranting-ranting itu. Bau tanah merah menerobos lubang hidungnya. Dengan cangkul kecil yang tadi dibawanya dari rumah ia mulai menggali. Ia ingin memastikan sosok tubuh yang dikubur di dalamnya. Ia masih berpikir dan berharap sosok tubuh itu adalah seekor hewan.

Matahari makin condong di barat ketika galiannya sudah sedalam 40 sentimeter. Samar-samar ia mencium bau busuk dari pori-pori tanah. Luter menahan rasa mualnya dengan naik dan duduk sesaat sambil mengeringkan butir-butir keringat yang mengganggu penglihatannya.

Namun, sesaat kemudian, ia membatalkan upayanya terus menggali ketika samar-samar ia mendengar ada suara-suara aneh mendekat. Dengan sigap ia menyambar baju, sepatu, dan cangkulnya. Bergegas ia pergi meninggalkan tempat itu.

Berlari sekencang yang dapat dilakukannya. Menerabas rerimbun hutan yang sangat dikenalnya. Berlari sejauh yang dapat dilakukannya. Ia belum tahu siapa yang datang, tapi ia tak mau mengambil risiko dengan berada di dekat-dekat situ.
Tiga lelaki muncul beberapa saat kemudian. Mereka terperangah melihat galian yang ditinggalkan Luter. Dengan teliti mereka memeriksa.

“Gila. Seseorang coba menggali.”

“Siapa?”

“Jangan-jangan dia sempat memergoki kita.”

“Belum tentu. Siapa tahu binatang.”

“Binatang apa? Singa? Beruang? Mana mungkin?”

“Kita harus tahu siapa atau apa yang melakukannya.”

“Ayo kita cari!”

“Kita menyebar di tiga arah.”

(Sambungannya menyusul)
*
Maaf, pelaku diubah neh...

Tuesday, March 11, 2014

PERCAYA atau tidak, penyanyi pop asal Kanada Justin Bieber dipuji Floyd Mayweather Jr sebagai punya kemampuan bertinju.

Wednesday, March 5, 2014

pada pematang ini
dalam hampar sawah maha luas
dan rerimbun pepohonan nun di sana
kita lanjutkan langkah
tangan kita saling berpilin
kaki-kaki kita menjejak
dengan empat kurcaci di belakang kita
yang membesar dari hari ke hari
sesekali berlari mendului kita
sesekali kau memekik kecil
bukan karena kerikil
tapi  jarum-jarum pucuk rerumputan
menusuk kakimu
sesekali kita terjatuh
oleh jerat-jerat rerumputan yang memanjang
sesekali kita mendongak pada cakrawala
berharap gerimis menepis dahaga kita
atau hujan membasahi tubuh-tubuh kita
sesekali kau juga berkesah
karena gerimis tak kunjung curah
sesekali kau juga memekik
karena hujan tak juga rintik
sesekali kau juga mengisak
karena kakimu terinjak
namun tak pernah kaulepas tanganmu
dari tanganku
dan kita terus melangkah
menuju oase yang kadang fatamorgana
pada pematang ini
kita semakin matang
makin mampu mengusir berang
dan kuharap cinta kita tak pernah lekang

050314

Wednesday, February 26, 2014

Bang abang ayo dong Bang
Abang bilang mau pulang
Saya tunggu sambil begadang
Tapi abang nggak juga pulang
*
Jangan-jangan abang ada simpanan
saya khawatir abang kepincut perawan
Jangan-jangan abang lupa jalan
Sampai abang biarin saya sendirian
*
Bang abang ayo dong Bang
Abang bilang mau pulang
Saya tunggu sambil begadang
Tapi abang nggak juga pulang
*
Abang oh abang saya jadi curiga
Jangan-jangan ada cinta segitiga
Jangan-jangan juga sudah tak cinta
Sama saya yang selalu setia
*
Bang abang ayo dong Bang
Abang bilang mau pulang
Saya tunggu sambil begadang
Tapi abang nggak juga pulang
*
Abang oh abang di mana abang berada
Abang oh abang apa masih punya cinta
Kalau cinta pulang cepat sekarang
Biar kita bisa lagi sayang-sayang
*
Bang abang ayo dong Bang
Abang bilang mau pulang
Saya tunggu sambil begadang
Tapi abang nggak juga pulang
-
* asmara.gue@gmail.com
* aba.mardjani@yahoo.com
SUZANN Pettersen berpeluang menumbangkan singgasana Pak In-bee di posisi teratas peringkat golf dunia pekan ini.

Pettersen, 32, pegolf asal Norwegia, dipastikan menggeser posisi In-bee jika ia jadi juara di HSBC Women’s Champions di Singapura, sementara In-bee finis di luar T-3 bersama dua pemain.

“Bagus juga kalau saya bisa menjadi pegolf terbaik dunia, namun di sisi lain saya tidak berpikir akan terus bermain. Jadi, itu motivasi saya setiap hari,” kata Pettersen, dikutip Sky Sports, Rabu (26/2).

“Saya kirahal paling penting untuk bisa menjadi lebih baik setiap hari adalah apa yang membuat Anda bangun di pagi hari, apa yang membuat Anda bisa melalui hari-hari berat, hari-hari baik.”

“Tentu saja impian saya menjadi wanita pegolf terbaik dunia. Tapi, pada saat yang sama, yang saya inginkan adalah melihat sejauh mana langkah saya setiap hari,” ia menambahkan..

In-bee, yang menduduki posisi kedua di debut turnamen 2014 di Thailand, pekan lalu, berharap tetap bisa bertahan di peringkat atas dunia. Pesaingnya, selain Pettersen, ada Stacy Lewis yang juga juara bertahan di Singapura.

Turnamen di Singapura digelar di Sentosa Golf Club (par 72) mulai Kamis (27/2).

Monday, February 24, 2014

Jangan bilang...jangan bilang...cinta
Kalau kamu takut oh menyayangi
Jangan bilang...jangan bilang...suka
Kalau kamu takut oh melindungi
*
Biarkan...biarkan saja...kusendiri
Meniti jalan sepi...sepi..sepanjang hari
*
Sungguh...oh sungguh aku tak ingin berharap
Suatu hari kamu...kamu datang mendekap
Karna kutahu...karna kutahu kamu cuma petualang
Bagiku...bagiku kau cuma...cuma pecundang
*
Pergilah...pergi...kamu jangan gangguku
Bawa k’mana saja cinta gombalmu
Aku bukan perempuan  yang mudah terlena
Karna kau tahu...kutahu...kamu coba pendusta
*
Kamu...kamu...cuma petualang
Kamu...kamu...cuma pecundang
Jangan...jangan...berani lagi datang
Kalau kamu datang pasti kutendang

* asmara.gue@gmail.com
* aba.mardjani@yahoo.com

Thursday, February 20, 2014

Uh ah uh ooooo ah
Sebel...sebel...sebel...sebel...
Dasar muka lo emang tebel
Enaknya gue siram sambel
Otak lo emang otak bebel
Duit korupsi bikin otak lo bebel
Gak punya malu karna kantong lo tebel
*
Lo tau tapi lo gak peduli rakyat susah
Tiap hari hidup penuh gelisah
Mau apa aja serba resah
Duit gak punya utang juga gak bisa
Rakyat cuma bisa mewek mendesah-desah
*
Ooooo
Sekarang lo pada repot lagi mo jadi caleg
Lo tau banyak duit yang bisa lo korek
Lo gak peduli rakyat terus merengek
Menangis-menangis-menangis kayak kambing congek
Hidup merayap-rayap kayak tokek
Buat lo gak urusan orang lain pada bokek
Yang penting idup lo enak sampe kakek-nenek
*
Oooo...
Dasar emang lo tu rakus kayak tikus
Apa aja lo embat lo ringkus
Apa aja lo sikat lo bungkus
Apa aja lo sabet lo ringkus
Lo gak peduli biar rakyat mampus
*

- asmara.gue@gmail.com

Tuesday, February 18, 2014

Hmmm.....
Malam ini kucandai rembulan
Tuk mengusir rinduku tak tertahan
Saat kau jauh dariku jauh entah di mana
Dan aku tak tahu kan mencarimu ke mana
*
Gemerisik dedaunan di tepian kolam
Temani diriku dalam kesendirian
Nada-nada lirih kunyanyikan di hening malam
Kusampaikan salam melalui rembulan
*
Kau tahu cintaku sangatlah murni
Putih dan bening serupa salju
Tiada wanita lain dalam batin ini
Namamu terpatri dalam hatiku
*
Biarlah biar kusendiri nikmati rindu
Biarlah biar kusendiri nikmati pilu
Asalkan kau bahagia bersama dia
Asalkan kau bahagia tiada derita
*
Gemerisik dedaunan di tepian kolam
Temani diriku dalam kesendirian
Nada-nada lirih kunyanyikan di hening malam
Kusampaikan salam melalui rembulan

* aba.madjani@yahoo.com
* asmara.gue@gmail.com

Monday, February 17, 2014



Ooo engkaulah cinta yang kupuja
Ooo engkaukah 'smara membara
Namamu terpatri dalam sanubari
Namamu kusebut setiap hari

Padamulah kasih kulabuhkan hati
Padamulah kasih kupancang harap
Jangan biarkan kuterus menanti
Datanglah kini agar dapat kudekap

Ooo senyummu anugerah terindah bagiku
Ooo suaramu nyanyian terindah bagiku
Tanpamu apalah arti hidupku
Tanpamu aku jadi perdu bisu

Reff:
Kemarilah kasih biar kunikmati senyum indahmu
Sapalah pagiku agar hariku indah selalu
Jangan pernah biarkan bunga cintaku layu
Tanpamu aku jadi perdu nan bisu

Padamulah kasih kulabuhkan hati
Padamulah kasih kupancang harap
Jangan biarkan kuterus menanti
Datanglah kini agar dapat kudekap

* aba.mardjani@yahoo.com
Naskah ini juga diposting di Kompasiana

Thursday, February 13, 2014



TIGER Woods harus bermain golf sendirian, setiap hari, selama sebulan. Itu kata mantan juara major British Open, Ian Baker-Finch.

“Masalah Tiger itu swing-nya. Ia selalu menyalahkan puting-nya, tapi menurut saya bukan puting. Ini masalah swing, dan ia perlu melakukan latihan untuk itu,” kata Baker-Finch yang kini jadi komentator stasiun tv CBS, kepada Reuters, seperti dikutip Sport Yahoo.

Tahun ini Woods sudah tampil di dua event. Ia duduk di posisi 80 PGA Tour di San Diego dan ke-41 di Dubai Desert Classic di rangkaian European Tour.

Baker-Finch yang mengaku menyaksikan siaran langsung pertandingan Woods di Dubai. Ia mengaku tak suka dengan cara Sean Foley melatih Woods.

Jawabannya, kata Baker-Finch, bukan memukul ribuan bola pada jarak tertentu, tapi bagaimana memukul lusinan bola dalam sebuah latihan terarah sebelum ia tampil di Masters, April. Di turnamen itu Woods memburu gelar major-nya yang ke-15 atau pertama setelah puasa gelar major selama enam tahun terakhir.

“Tiger harus mencetak skor setiap hari sampai nanti ia tampil di turnamen berikutnya, bukan melakukan pukulan sempurna pada jarak tertentu bersama Sean dan Trackan (radar yang digunakan pegolf untuk membantu swing mereka),” kata Baker-Finch.

“Yang harus dilakukan Tiger cuma pergi dan menikmati permainan golf seraya memasukkan bola dalam bilangan serendah mungkin. Saya kira itu juga yang ia lakukan ketika belia.”

Wednesday, February 12, 2014



Rumah di Desa

Cerpen: ABA MARDJANI

WAJAH Catherine membinar ketika sore itu memperlihatkan sebaris kalimat singkat di layar ponsel kepada suaminya. ‘Iya. Mama dan Papa akan datang besok’.

“Betulan?” Ahlan tak mampu membendung rasa gembira yang menyesaki  dadanya. Dilahapnya wajah istrinya. Ia mendapati air bening di sudut mata kanan istrinya siap menetes seperti sisa embun di pucuk-pucuk kamboja. “Kamu mau nangis?”
Catherine menerkam tubuh suaminya. Memeluk erat seperti pasangan yang baru bertemu setelah perpisahan lama. Ia sesenggukan menahan tangis. Di usia hampir setengah abad, baru kali ini Catherine merasa benar-benar bahagia. Padahal ia yakin itu baru awal dari kebahagiaan sesungguhnya manakala ibu dan ayahnya hadir mengunjungi rumahnya esok hari sesuai janjinya.
“Kalimat sakti apa yang kamu sampaikan kepada mama dan papa sehingga mereka akhirnya memutuskan mau datang?” Ahlan melepaskan pelukan istrinya dan menikmati wajah istrinya yang telah dibasahi air mata.
“Kubilang ‘aku rindu mama dan papa’. Itu saja,” jawab Catherine dalam sengguknya.
Beberapa saat keduanya terdiam sampai kemudian Ahlan berkata bersama embusan napasnya, “Maafkan aku yang terpaksa membuatmu menderita selama ini.”
“Siapa bilang aku menderita, Pa? Aku bahagia dengan pilihanku menikah denganmu dan memilih tinggal di desa ini. Tidak ada yang salah. Kini, hal itu tak perlu kita bahas lagi. Lebih baik kita mempersiapkan diri dengan kehadiran Papa dan Mama dari kota.”
Ahlan mengecup kening istrinya. “Tuhan menyayangi kita. Tuhan tak pernah berhenti memberi kebahagiaan kepada kita. Waktu demi waktu,” katanya. Catherine mengangguk dan meninggalkan suaminya sembari membawa sisa-sisa senyumnya. Waktu magrib hampir tiba.
Ahlan duduk bersila di bagian depan surau mungil yang asri di Desa Cibaresah selepas salat magrib. Semilir angin malam mulai berkesiur membuat pucuk-pucuk pohon menari-nari gemulai.
“Wajah Pak Ahlan ceria betul malam ini,” Badrul membuka percakapan seraya melepas kopiah hitam di kepalanya.
“Seperti orang habis dapat lotre,” sambung Hasnul sambil mencabut sebatang rokok dan menyulutnya seolah ingin mengusir rasa dingin yang mulai menjalari tubuhnya.
“Iya. Saya memang sedang bahagia betul hari ini,” Ahlan membuka mulut dan menyapukan pandangannya ke wajah Badrul, Hasnul, Saijan, dan Mundari yang duduk membentuk lingkaran di kanan dan kirinya.
“Bagi-bagilah kebahagiaannya, Pak,” Saijan merapikan topi kupluknya.
“Ibu dan ayah mertua saya mau datang besok,” Ahlan memulai.
“Wah, harus disambut meriah itu, Pak,” Hasnul dengan cepat menyambar kalimat Ahlan. “Saya baru dengar kabar tentang kedua orang tua Bu Catherine...”
Ahlan tertawa lebar. “Pak Hasnul bisa saja. Meriah bagaimana itu?”
“Ya meriahlah. Pokoknya meriah. Serahkan saja sama saya, Pak. Maksud saya kepada kami. Pak Ahlan tahu beres sajalah,” kata Mundari. Wajahnya nampak semringah.
Ahlan menarik napas. Jauh di lubuk hatinya ia benar-benar bersyukur memiliki sahabat-sahabat di desa seperti Badrul, Hasnul, Saijan, dan Mundari. Merekalah pelengkap kebahagiaan hidup yang diperolehnya di Cibaresah, sebuah desa terpencil yang dipilihnya untuk menerapkan segala ilmu pertanian yang diperolehnya dari sebuah perguruan tinggi di Bogor. Pilihan yang sempat ditentang kedua orang tuanya sendiri.
Namun, pertentangan terbesar datang dari ayah dan ibu Catherine, wanita berbeda fakultas dan tingkat yang disuntingnya.
Ahlan tak ingin menyalahkan ayah dan ibu mertuanya ketika mereka melarang putrinya mengikuti suaminya tinggal di sebuah desa terpencil.
“Aku ingin kamu seperti kakak-kakakmu, kerja di kantor megah di ibu kota. Itulah tujuan Mama dan Papa menyekolahkanmu tinggi-tinggi,” kata ibu mertuanya kepada Catherine ketika hampir 20 tahun lalu mereka menghadap untuk mohon pamit.
Tak ada yang benar-benar berubah pada Amalia dan Ibrahim ketika pagi itu, 20 tahun kemudian, keduanya menyusuri sebuah jalan kecil menuju Desa Cibaresah. Mobil jip besar itu membuat tubuhnya seperti menari-nari ke kiri dan ke kanan, ke depan atau ke belakang. Sesekali tersembur serapah dari bibirnya.
“Nenek sudah renta. Tak lama lagi mungkin nenek mati. Juga kakek,” ujar Amalia sembari melirik suaminya yang duduk di samping sopir. Dua gadis belia dan tiga anak laki-laki yang duduk di kursi belakang diam mendengarkan. “Nenek ingin mati di tengah-tengah cucu-cucu nenek seperti kalian,” ia menoleh kepada kedua gadis yang duduk mengapitnya di kursi tengah. “Juga semua anak nenek. Karena itu, nenek akan paksa Ahlan membawa pulang Cathy ke kota. Mereka tidak layak tinggal di desa terpencil seperti ini.”
Amalia berhenti sesaat. Mobil terus berjalan pelan untuk menghindari lubang-lubang kecil dan besar serta batu-batu kecil di jalan.
“Sampai sekarang nenek masih tetap tidak habis mengerti dengan jalan pikiran Cathy, tante kalian itu,” ia melanjutkan kalimatnya. “Nenek menyekolahkan anak-anak supaya hidup enak di kota. Apa-apa serba gampang. Nenek ingin Cathy seperti si sulung Andre yang hidup enak sebagai direktur bank, atau Johan si nengah yang sekarang malah diangkat sebagai kepala cabang perusahaan ekspor impor. Apa kurangnya?”
Tak ada yang bersuara.
“Gaji mereka besar, fasilitas mobil, rumah, apa saja ada.”
“Tapi, Nek,” seseorang dari kursi belakang menyahut.
“Tapi apa?” tanya Amalia tanpa menoleh.
“Tapi hidup kan tidak selalu harus sesuai keinginan nenek. Orang bisa punya pilihan sendiri yang dianggapnya baik, Nek.”
Amalia tersenyum nyinyir. “Kamu, Rifki, rupanya mulai keracunan tantemu.”
Tak ada sahutan.
“Nenek setuju dengan kebebasan memilih, tapi harus yang masuk akal. Bukan tinggal di desa terpencil seperti ini. Apa yang mereka cari? Kebahagiaan seperti apa yang mereka kejar?”
Tak ada yang berani menyahut. Juga Ibrahim suaminya.
Beberapa saat kemudian, mobil jip besar itu sudah memasuki ujung Desa Cibaresah. Sebuah tanjakan tinggi menunggu di ujung jalan di hadapan mereka. Umbul-umbul warna-warni nampak di kiri dan kanan sepanjang jalan.
“Umbul-umbul apa ini?” Ibrahim bersuara. “Apa ada upacara? Ada pesta desa?”
“Mungkin saja, Pa,” Amalia menyahut. “Mungkin ada kunjungan lurah atau kepala desa. Biasa itulah. Namanya di kampung. Lurah pun bisa seperti presiden. Dihormati dari ujung kaki sampai ujung rambut.”
Selepas tanjakan, seorang lelaki menghentikan laju mobil. “Mau ke mana, Pak?” laki-laki berpakaian batik itu bertanya kepada Ibrahim.
“Ke rumah anak saya...”
“Pak Ahlan dan Bu Cathy?” laki-laki itu menyergah.
“Betul.”
“Kalau begitu, ikuti saja jalan yang diberi umbul-umbul ini, Pak,” kata laki-laki itu seraya menganggukkan hormat.
Umbul-umbul itu memang mengarah ke sebuah rumah besar terbuat dari kayu dan bambu. Halamannya luas. Nampak asri dengan berbagai tumbuhan berbunga indah.
Begitu semua penumpang turun, Catherine segera menyergap ibunya. Berpelukan lama dan memuntahkan semua air mata kerinduan yang terpendam lebih dari 20 tahun. Di belakangnya menunggu suaminya, satu anak perempuan, dan dua anak laki-lakinya yang beranjak remaja. Beberapa saat kemudian, orang-orang desa berkerumun mengitari mereka. Hampir setengah jam upacara pelepas rindu itu berlangsung sampai kemudian Catherine dan Ahlan membawa mereka memasuki teras rumah yang juga sudah dipenuhi warga.
“Bapak-bapak dan ibu-ibu serta saudara-saudara sekalian,” terdengar sebuah suara melalui pengeras suara. “Izinkanlah saya selaku kepala desa di sini, nama saya Pak Sambusir, menyampaikan ucapan selamat datang kepada orang tua Ibu Catherine dan Pak Ahlan...” ia berhenti sesaat.
Lalu katanya lagi, “Bapak Ibrahim dan Ibu Amalia yang saya hormati beserta cucu-cucunya yang datang dari kota, beginilah desa kami. Masih terpencil memang. Tapi, kesejahteraan tak pernah jauh dari kami. Di sini kami hidup saling tolong menolong. Saling membantu satu sama lain.”
“Mengapa kami bisa hidup sejahtera?” Kepala Desa Sambusir melemparkan pertanyaan. “Harus saya katakan Pak Ibrahim dan Bu Amalia, semua ini berkat kerja keras Bu Cathy dan Pak Ahlan yang datang ke desa ini 20-an tahun lalu. Merekalah yang membantu kami tata cara irigasi yang benar, bercocok tanam yang baik, beternak dengan tekun, semuanya. Hasilnya sekarang terasa. Kami hidup sejahtera. Hidup bahagia. Kami tidak kekurangan pangan dan sandang. Kami memang tidak hidup mewah seperti orang-orang di kota. Karena apa? Karena kami tidak mengejar kemewahan. Yang kami cari adalah kebahagiaan hidup. Hidup sehat, taat beribadat, saling hormat dan saling bantu sesama tetangga dan saudara...” Kepala Desa Sambusir berhenti sejenak. Mengatur napasnya.
Tak ada yang bersuara.
“Karena itu, Pak Ibrahim dan Bu Amalia,” Sambusir melanjutkan kalimat setelah meneguk air putih di depannya. “Kami sangat menghormati Pak Ahlan dan Bu Cathy lebih dari saudara atau bahkan orang tua kami. Hal itu dapat dibuktikan dengan kehadiran hampir semua warga di sini. Kami tinggalkan dan tanggalkan semua kesibukan kami hari ini demi menghormati kedatangan Pak Ibrahim dan Bu Amalia. Orang tua mereka berarti orang tua kami juga....”
Tak ada kata yang bisa diucapkan Amalia dan Ibrahim. Rasa haru membalut dada keduanya seperti awan yang membalut pucuk gunung. Mereka terharu melihat kebahagiaan Cathy dan Ahlan bersama tiga anaknya yang nampak begitu sehat dan segar.
Tiga hari kemudian, sopir yang mengantarkan mereka ke desa itu menemui Amalia yang tengah menyantap hidangan sarapan pagi bersama-sama.
“Jam berapa kita balik ke kota, Bu?” ia bertanya kepada Amalia.
“Balik ke kota?” ia balik bertanya, nyaris tanpa ekspresi. “Siapa yang mau balik ke kota? Mungkin cucu-cucuku saja yang pulang ke kota. Aku dan Bapak akan tetap tinggal di sini. Sampai aku bosan. Kalau tidak bosan, ya seterusnya aku tinggal di sini. Betul begitu kan, Pak?” Amalia melirik suaminya.
“Siapa takut?” jawab Ibrahim. Tak ada keraguan dalam nada suaranya.
*Perigi, Tanah Kusir, 13 Agustus 2013

Sunday, February 9, 2014

MUKENA CANTIK DARI PEKALONGAN

INGIN mukena baru yang cantik. Batik lukis Pengalongan. Bahan katun santung. Lembut. Adem. Nyaman. Aneka pilihan.
Harga Rp175.000 belum termasuk ongkos kirim.
SMS ke 081297530558
BBM ke 29E027D0

PEMASUKAN :
tgl 27 Feb 2019
1.Masjid =Rp.250.000
2.Tromol =Rp.173.000
Jumlah =Rp.423.000

PENGELUARAN :
Ta'lim =Rp.179.000
SALDO Rp.244.000
Bendahara
1.Ali Agus
2.Basri Arbain

Ketua Majlis
Mahyuddin Hanafi




Total Pageviews

Video Majlis AlAbror

Popular

Buku Tamu

Sahabat